Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua melakukan unjukrasa di depan kantor Freeport, Jakarta, Kamis (29/3/18). Dalam aksinya mereka meminta kepada pemerintah untuk menutup Freeport serta menghentikan rekayasa konflik di Timika. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Sungguh memilukan. Rakyat menilai, inilah antiklimaks kebanggaan kedaulatan semu atas cerita kepemilikan saham 51% di tambang PT Freeport Indonesia (PT.FI). Semua muncul dan menjadi terbuka pada saat salah satu pejabat anggota VII BPK-RI Rizal Djalil yang didampingi Menteri ESDM Igantius Jonan dan Menteri LHK Siti Nurbaya, menjelaskan ke berbagai awak media pada hari Rabu (19/12/2018) di kantor BPK-RI.

BPK menyampaikan dengan tegas bahwa hasil audit atas aktifitas penambangan PT PTFI yang awalnya tercatat 14 temuan dari nilai ekosistem yang dikorbankan (potensi keusakan lingkungan) sebesar USD13.692.299.294 atau setara Rp185 triliun. Ironisnya, potensi itu menjadi hilang. BPK sekadar mengenakan kewajiban PNBP sebatas Rp 460 miliar terhadap PTFI. Dari sisi potensi, secara material tetap sebagai potensi. Dengan hilangnya nilai kerugian yang harus dipertanggung jawabkan PT.FI, apakah rakyat yang harus menalangi melalui APBN?

Perhitungan awal BPK didasarkan atas hasil perhitungan jasa ekosistem yang hilang. Dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap dampak tailing PTFI. Perhitungan tersebut didasarkan dari Analisis Perubahan Tutupan Lahan tahun 1988-1990 dan 2015-2016 oleh Lembaga Antariksa Penerbangan Nasional (LAPAN).

Meskipun hasil tersebut harus didiskusikan lterlebih dahulu dengan KLHK, untuk menilai atas dasar ketentuan yang ada . Selain itu, justru ditemukan PT FI telah menggunakan kawasan hutan lindung seluas 4.555 Ha tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IIPPKH) yang dinilai sebatas sebagai kerugian PNBP bukan kejahatan pidana kehutanan seperti dimaksud Pasal 50, 74, 75, 77 dan terakhir Pasal 78 tentang Ketentuan Pidana didalam UU Kehutanan.

Dengan pola yang dilakukan PT.FI selama ini, jelas telah menggeser dan menempatkan BPK dengan sadar telah menghancurkan kredibilitas IPB dan LAPAN. Ironisnya, Lembaga Negara selevel BPK dipermainkan dan dihancurkan sebatas hanya demi kepentingan korporasi asing. Padahal, semestinya BPK dapat berkaca terhadap PERDA DKI nmr 8 tahun 2007. Menebang 1 batang pohon saja di DKI Jakarta tanpa izin, dapat dikenakan denda mencapai Rp25 juta.

Aneh dan lucu. Dalam acara yang sama , Menteri LHK bersikap seolah olah membenarkan pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia terhadap penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin dan dampak negatif kepada lingkungan alam sekitarnya akibat pencemaran hasil pembuangan tailing dari aktifitas penambangan. Besarnya tailing dapat mencapai sekitar 230.000 metrik ton perhari. Dangan mencabut Keputusan Menteri LHK No.175 /2018 Tentang Pengelolaan Limbah Beracun Berbahaya (B3), telah menempatkan Pemerintah (KLHK) secara otomatis harus tunduk atas Peta Jalan (road map) pengelolaan limbah dan lingkungan hidup yang dibuat oleh PT Freeport Indonesia.

Oleh publiK, sangat jelas, kedaulatan negara yang diamanatkan kepada Pemerintah untuk mengelola sumber daya alam sesuai Undang Undang, telah dirampas oleh PT Freeport Indonesia.

Padahal dampak negatif pencabutan Kepmen KLHK berdampak luas, termasuk memberikan peluang besar bagi perorangan atau badan usaha yang telah nyata sengaja melanggar ketentuan soal limbah B3 akan menuntut keadilan perlakuan yang sama seperti dilakukan terhadap PTFI. Contoh lainnya, dampak negatif dapat dicatat atas ucapan Dirjen Minerba Bambang Gatot pada salah satu media (13/12/2018) bahwa rencana perubahan ke 6 PP No. 23 tahun 2010 itu agar Pemerintah bersikap adil terhadap 8 pemilik PKP2B generasi 1 untuk diperlakukan sama dengan pemilik KK.

Padahal demi menjaga ketahanan energi nasional dan seharusnya pemerintah dapat bersikap tegas. PKP2B generasi 1 yang akan berakhir waktunya , seharusnya diserahkan kepada BUMN Tambang untuk dikelola. Tanpa sikap ini, maka potensi penerimaan jauh lebih besar setiap tahunnya. Padahal untuk mengambil alih PKP2B tanpa memperlukan uang sepeserpun. Dibandingkan dengan PI (participacing Interest) Rio Tinto dan saham FXC, untuk memperbesar saham sampai harus mencari pinjaman asing sebesarUSD 4 miliar.

Dari sini jelas, perubahan ke 4 PP No. 23 tahun 2010 yang menghasilkan PP No.1 tahun 2017 sebagai dasar perubahan rezim KK ke IUPK terbukti telah merusak tatanan UU Minerba No. 4 tahun 2009. Tidak salah, jika Guru Besar UI (Prof Hikmahanto Juwana) pernah mengingatkan agar Pemerintah (11/06/ 2015), dikutip media CNN “Guru Besar UI Nilai IUPK Freeport Bentuk Penyeludupan Hukum”. Pemberian IUPK kepada PT FI hanya akan menambah kerugian negara, lebih jauh juga menghimbau seharusnya Presiden Joko Widodo berhati hati didalam mentepakan masalah ini. Penyeludupan hukum, diduga bertujuan menghindari berlakunya hukum nasional untuk memperoleh suatu keuntungan sesuai keinginannya, sehingga berpotensi menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari.

Terlalu banyak sudah Peraturan Pemerintah, Permen lintas kementerian yang selalu dirubah rubah hanya dipakai untuk kepentingan meloloskan PTFI agar dapat melakukan ekspor konsentrat yang jelas-jelas telah melanggar UU Minerba (sejak dibatasi pada tahun 2014). Juga perubahan KK ke IUPK, namun yang selalu selalu yang ditonjolkan sudah memenuhi Pasal 71, tetapi tetap mengabaikan Pasal 169 ayat b.

Oleh karena itu, berdasarkan keanehan keanehan yang tampak terang benderang, sebaiknya KPK turun tangan secepat mungkin untuk menghindari potensi kerugian yang lebih besar. KPK sebagai fungsi pencegahannya untuk pro aktif mereview kembali dasar perhitungan BPK terhadap temuan soal audit tertentu tersebut dikaitkan penggunaan hutan lindung tanpa izin sesuai UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 Jo UU NMR 19 tahun 2004, UU No.18 tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberatasan Pengrusakan hutan dan UU nmr 32 tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup. Meskipun PT FI beranggapan KK statusnya sama dengan UU dalam beroperasi, tegas dikatakan dalam Pasal 26 Kontrak Karya bahwa PTFI wajib dalam operasionalnya untuk sungguh sungguh menjaga atau mengurangi kerusakan lingkungan sesuai UU dan peraturan peraturan perlindungan lingkungan hidup.

Peraturan tersebut juga dipertegas oleh surat Menteri Pertambangan dan Energi RI nmr 1047/03/M.SJ/1995 tanggal 28 Maret 1995 oleh IB Sudjana perihal “Persetujuan penyelanggaraan Kontrak Karya” tegas sudah dikatakan pada point 3 berbunyi “Semua kegiatan dalam rangka pelaksanaan Kontrak Karya sehubungan pengalihan hak hak dalam kaitan tersebut diatas harus sesuai dengan ketentuan dan Kontrak Karya dan Undang Undang Republik Indonesia yang berlaku.

Ditulis Oleh:
Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka