Fintech Ilegal Marak, yang Legal Ikut Kena Getahnya

Sunu Widiatmoko, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan pemberitaan negatif terkait pinjamanan online turut memberikan efek negatif terhadap perusahaan fintech legal. Pasalnya, 73 perusahaan fintech legal yang tergabung dalam AFPI telah beroperasi sesuai aturan akhirnya terkana dampak dan kehilangan kepercayaan masyarakat.

“Ada 73 fintech yang legal, ada produktif ada yang konsumtif. Sedangkan pinjaman tunai ada sekitar 20-an,” ujar Sunu.

Dalam pinjaman tunai, Asosiasi telah menyampaikan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam penagihan, termasuk memakai data-data konsumen. Apabila sekarang berita negatif terkait penagihan muncul, pihaknya menduga kasus tersebut adalah permasalahan tahun lalu. Namun, saat ini sudah dibuat larangan-larangan terkait penagihan ke konsumen.

“Harus kami akui bahwa fintech merupakan industri baru. Industri ini sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kami sama-sama belajar. Masyarakat belajar, kami sebagai pelaku juga belajar dengan cepat termasuk mendisiplinkan anggota, OJK juga mengamati dan mempelajari apa yang terjadi di dunia online,” jelasnya.

Menurutnya, ada dua sebab munculnya berita negatif terkait fintech. Pertama merupakan kasus yang terjadi sudah lama. Kedua, bisa saja berita negatif itu terjadi dari pinjol illegal yang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Oleh sebab itu, edukasi untuk masyarakat menjadi penting. Pemodal, pengguna dan pemakai harus memperhatikan apakah platfotm itu teregistrasi di OJK atau tidak. Setiap bulan ada list daftar perusahaan yang sudah terregistrasi di laman OJK.

“Peristiwa ini bisa juga sebagai proses pembelajaran bagi masyarakat untuk menggunakan yang legal. Pasalnya, Pinjol ilegal itu melakukan operasional secara gelap, akhirnya hak konsumen tidak terjamin. Sekali mereka mendapatkan informasi dan data konsumen, meraka akan melakukan segala hal. Mereka mencoba sebisa mereka, semau mereka untuk mendapatkan uang mereka kembali. Ada kencenderungan mereka meghalalkan segala cara. Hingga pada akhirnya munculahfoto memalukan, ancamalah, mempermalukan secara sosial,” terangnya.

Untuk menekan dan mengantisipasi pinjol ilegal, pihaknya telah melakukan diskusi dengan google, kominfo dan OJK. Terkait Pinjol ilegal, sebetulnya ini ranah penegak hukum dan google. “Jujur, kalau aplikasi tersebut tidak diupload google play, maka tidak akan ada aplikasi ilegal Pinjol. Google memiliki peran juga, tangan dia ikut menanggung salah, terlepas kilah mereka, faktanya pinjaman ilegal ini tersedia di playstore,” terangnya.

Apabila konsumen merasa dirugikan Fintech legal, pihaknya mempersilahkan konsumen mengadu ke OJK atau Asosiasi. Namun, terkait Pinjol ilegal, menurutnya hal itu merupakan wewenang penegak hukum, baik cybercrime polri, bareskrim, kominfo dan OJK.

“Tugas kita adalah edukasi masyarakat. Namun kita tetap meminta penegak hukum lebih tegas, termasuk google tidak asal upload aplikasi pinjol yang tidak terdaftar,” terangnya.

Pihaknya membantah apabila dikatakan rentenir ataupun lintah darat. Semua anggota AFPI mengadopsi code of conduct, code of ethics yang sudah ditandatangani di asosiasi fintech Indonesia. Ketika memberikan perjanjian kredit harus jelas bunga dan biayanya, tidak boleh memberlakukan bunga berbunga. Selain itu, pihaknya memperhatikan kemampuan dari calon peminjam.

Menurutnya, ada dua hal yang memengaruhi tingginya bunga pinjaman online, yaitu suplai-demand dan bentuk usaha fintech. Dalam teori ekonomi, semakin tinggi permintaan disaat suplai turun, maka akan semakin tinggi nilainya. Kedua, fintech itu bukan bank namun hanya mempertemukan pihak pemberi pinjaman dan pihak yang membutuhkan.

“Ibarat biro jodoh mempertemukan pihak pemberi dan penerima. Sedangkan bunga pinjaman itu kesepakatan penerima dan pemberi, kalau misalnya bunga terlalu tinggi ya ga usah pinjam, silahkan pinjam ke bank,” jelasnya.

Namun, permasalahan yang kita ketahui adalah sasaran Pinjol adalah market yang tidak terlayani perbankan, karena mereka underbank atau underserve seperti masyarkaat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kalangan ini memiliki potensi yang luas dan menggiurkan, kalangan yang termarginalkan yang kemudian karena ada Fintech, mereka bisa memanfaatkan layanan keuangan. Terkait, kredit yang macet, pihaknya telah membuat aturan tersendiri, misalnya bunga yang tidak boleh melebihi satu persen perhari dan bunga+denda apabila macet tidak lebih dari 100 persen dari pokok pinjaman.

“Kita dari asosiasi sepakat, denda atau bunga tidak boleh dari 100 persen dari total pinjaman. Misalnya konsumen pinjam satu juta, kemudian di PHK dan akhirnya macet hingga 6 bulan, maka paling tinggi denda dan bunga tagihan adalah 100 persen dari awal, atau sekitar Rp2 juta. Tapi selama itu, ya dia dimasukkan dalam colect 5,” pungkasnya.

[pdfjs-viewer url=”https%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2FTeror-Pinjaman-Online_AktualCom-23-11-2018.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka