Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – “Labbaikallahumma labbaik… Labbaikalaa Syariikalaka labbaik…” begitulah bunyi lantunan yang dirindukan oleh Umat Islam, khususnya muslim di Indonesia, sehingga panggilan untuk menjadi tamu Allah Swt menjadi impian yang indah. Sehingga menjadi masuk akal jika pendaftaran menunaikan Ibadah Haji karena merupakan perintah rukun Islam ke-5, yang hanya berlangsung pada tanggal 9-13 Dzulhijjah, untuk kategori haji regular antriannya saat ini sudah sampai 20 tahun.

Untuk bisa sampai ke Tanah Suci selain dengan melaksanakan haji, alternative lainnya yang dapat ditempuh umat Islam adalah dengan melaksanakan Ibadah Umrah. Sehingga antusiasme muslim Indonesia untuk melaksanakan ibadah ini sampai ke tanah suci menjadi tamu Allah dan tamu Rasulullah Saw tergolong tinggi.

Maka tak heran dengan antusiasme tinggi muslim Indonesia ini, membuat kalangan pengusaha tertarik untuk membuka bisnis travel umrah. Para Pengusaha saling bersaing berlomba-lomba menawarkan paket umrah dengan fasilitas terbaik dan dengan harga yang murah. Namun siapa sangka, dengan harga yang murah tersebut justru menjadi peluang bagi pengusaha nakal melakukan penipuan, dengan membawa kabur uang keberangkatan yang disetorkan jamaah. Alih-alih bisa sampai, uang jamaah pun lenyap.

Untuk mengatasi maraknya penipuan travel umrah, pemerintah lewat Kementerian Agama Republik Indonesia mengeluarkan regulasi baru, agar tak ada lagi yang menjadi korban. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah. Terbitnya PMA ini otomatis menggantikan aturan sebelumnya, yaitu PMA Nomor 18 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Nizar Ali mengatakan, regulasi baru ini diberlakukan untuk membenahi “industri” umrah. Saat ini umrah semakin diminati umat Islam sehingga berkembang menjadi “bisnis” yang besar. Dalam setahun rerata jemaah umrah dari Indonesia mencapai hampir 1 juta orang.

“PMA ini kami buat untuk menyehatkan “bisnis” umrah sekaligus melindungi jemaah. Selama ini ibadah umrah terganggu oleh pelaku bisnis yang nakal sehingga jemaah rentan menjadi korban,” jelas Nizar di Jakarta, Selasa (27/3).

Dalam aturan baru terkait umrah, kata Nizar, terdapat sejumlah hal penting. Dari sisi model bisnis, ada kewajiban bagi PPIU untuk mengelola umrah dengan cara yang halal atau berbasis syariah. Tidak boleh lagi ada penjualan paket umrah menggunakan skema ponzi, sistem berjenjang, investasi bodong, dan sejenisnya yang berpotensi merugikan jemaah.

“Penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah bukanlah “bisnis” sebagaimana umumnya. Umrah adalah ibadah. Karenanya, pengelolaan perjalanannya harus benar-benar berbasis Syariah,” tegas Nizar.

Sehubungan dengan itu, melalui regulasi ini, izin penyelenggaraan umrah akan diperketat. PMA mengatur keharusan diterapkannya prinsip-prinsip syariah dalam asas penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Ini disebabkan banyak indikasi bisnis umrah dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariah, misalnya penjualan dengan skema ponzi, penggunaan dana talangan yang berpotensi menjerat jemaah, dan lain-lain.

Selain itu, izin menjadi PPIU hanya akan diberikan kepada biro perjalanan wisata yang memiliki kesehatan manajemen dan finansial, tidak pernah tersangkut kasus hukum terkait umrah, taat pajak, dan tersertifikasi. Secara berkala PPIU akan diakreditasi oleh lembaga yang ditunjuk Kemenag. Beleid ini juga memuat tentang patokan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU) atau harga referensi disertai standar pelayanan minimum (SPM).

“Hal ini sebagai acuan bagi masyarakat dalam menimbang tawaran paket umrah dari PPIU,” terang Nizar.

Hal lain yang diatur adalah soal mekanisme pendaftaran jemaah. Sebelumnya, rekrutmen jemaah dilakukan secara bebas tanpa melapor kepada Kemenag selaku regulator. Sekarang, pendaftaran harus dilakukan melalui sistem pelaporan elektronik dengan pembatasan keberangkatan paling lama enam bulan setelah tanggal pendaftaran dan paling lama tiga bulan setelah pelunasan. Melalui sistem yang terpusat ini, Kemenag berharap lebih efektif mengawasi penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Selain itu, Kanwil Kemenag Provinsi dan Kankemenag Kabupaten/Kota lebih dilibatkan sejak proses perizinan hingga pengawasan PPIU.

“Dengan regulasi ini, kami berharap penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah akan semakin baik dan jemaah makin terlindungi,” tandasnya.

KPHI Minta Kemenag Koordinasi dengan Kepolisian