Jika mengamati permasalahan yang terjadi selama ini di proyek reklamasi, apakah para pengusaha yang ingin mereklamasi pantai telah mempelajari betul Perpres 122 tahun 2012. Terlebih semua aturan terkait reklamasi ada disana. Misal untuk mendapatkan izin reklamasi, para pengusaha harus memenuhi syarat sesuai dengan Perpres 122 tahun 2012.

Syaratnya adalah pengembang harus mengantongi izin lokasi dan wajib melakukan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), untuk memastikan bahwa rencana reklamasi itu tidak merusak lingkungan sekitar. Kedua, pengembang harus menyusun rencana induk reklamasi. Dalam rencana induk tersebut, pengembang harus menjelaskan berapa luas pantai yang akan ditimbun pasir atau diuruk, serta asal material yang diambil untuk menimbun.

Setelah dua syarat itu dipenuhi, barulah Pemerintah Daerah bisa mempertimbangkan penerbitan izin pelaksanaan reklamasi pulau yang memungkinkan dilakukannya pembangunan. Bila mengacu ke hal tersebut, hingga kini belum satupun dari perusahaan yang ingin reklamasi mengurusi izin dengan betul.

Apalagi sejak awal reklamasi Teluk Jakarta bertentangan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 tahun 2012. Perpres tersebut selama ini digunakan untuk menghalalkan pelaksanaan reklamasi, sebab memang memberi restu pada pemerintah daerah untuk melakukan reklamasi.

“Gubernur dan bupati/walikota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah,” demikian buni pasal 16 Perpres tersebut.

Dari sudut pandang kewilayahan, berdasarkan Perpres tersebut, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan untuk mereklamasi. Hanya empat pulau di pantai utara Jakarta yang merupakan kawasan strategis nasional dan berada di bawah kewenangan kementerian, yaitu Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari. Sisanya berada di bawah kewenangan pemerintah DKI.

Namun demikian, seharusnya melihat hal lain yang sebenarnya juga terungkap pada Perpres tersebut, tentang syarat-syarat dilaksanakannya reklamasi. Ayat 4 Perpres itu berbunyi, “Penentuan lokasi reklamasi dan lokasi sumber material reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial ekonomi.”

Aspek teknis diantaranya adalah hidrooseanografi yang meliputi arus laut dan sedimen. Aspek lingkungan diantaranya kualitas air. Aspek sosial ekonomi diantaranya terkait mata pencaharian dan potensi konflik. Dari aspek lingkungan, berdasarkan kajian Dannish Hydraulic Institute (DHI), lembaga yang dikontrakl khusus oleh Kementerian Luar Negeri pada tahun 2011, reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan.

Lambatnya arus berakibat pada banyak hal. Arus berperan “mencuci” material di suatu perairan. Arus yang lambat berarti kemampuan “cuci” juga berkurang sehingga akan mengakibatkan akumulasi material di sekitar pulau reklamasi. Material tersebut bisa berbagai macam. Pertama adalah sedimen yang berasal dari perairan darat. Akumulasi sedimen, atau sedimentasi, akan mengakibatkan penyumbatan. Air dari darat akan sulit masuk ke laut. Ini berpotensi menimbulkan limpasan.

Kedua adalah material organik. Meskipun bisa bersifat “menyuburkan” perairan, material organik bisa bersifat toksik bila berlebihan. Akumulasinya akan menyebabkan kematian ikan. Akumulasi material organik juga akan memicu pertumbuhan alga beracun. Bom populasi alga memang umum terjadi di perairan. Reklamasi akan meningkatkan peluangnya dalam hal ini.

Yang paling berbahaya adalah material berupa logam berat. Perairan utara Jakarta sudah terkenal dengan kandungan logam beratnya. Jika arus melambat, logam berat yang terakumulasi di perairan utara Jakarta makin tinggi. Dalam kesimpulan laporannya, DHI menyebutkan bahwa reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan dan sejauh ini belum ditemukan cara untuk memitigasi beragam dampak tersebut. (Fadlan Syiam Butho-Wisnu Yusep)

 

Artikel ini ditulis oleh: