Jakarta, Aktual.com – Penerbitan sertifikasi produk halal dituding jalan di tempat, meski Undang-undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sudah memberi tenggat waktu yang lama hingga Oktober 2019 dengan semua produk wajib memiliki pengesahan kehalalan.

Berdasarkan regulasi itu, semua produk yang beredar di Indonesia wajib disertifikasi atau dilarang beredar. Karena itu perlu langkah cepat sebelum Oktober tahun depan menyapa.

Sertifikasi Halal bisa dikatakan mandek karena hingga akhir 2018 atau empat tahun sejak diundangkannya UU JPH, tidak ada satupun auditor halal yang dilahirkan oleh Badan Penyelengara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Padahal auditor halal sangat penting dalam rantai proses penerbitan Sertifikasi Halal karena mereka adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Dampaknya, sampai saat ini belum ada satupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI sebagaimana dimandatkan UU JPH. LPH sendiri bisa berdiri dengan memiliki sedikitnya tiga orang auditor halal yang telah memperoleh sertifikasi dari MUI.

Terdapat benang kusut yang tak kunjung terurai sehingga pemerintah lewat BPJPH tidak lekas dapat menerbitkan Sertifikasi Halal. Efeknya, dunia usaha gusar tanpa kejelasan bagaimana nasib Sertifikasi Halal produknya sementara masyarakat tidak mendapat kepastian mengenai status kehalalan produk.

Adapun produk yang dimaksud UU JPH itu barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Sedikit menengok ke belakang, Sertifikasi Halal sebelumnya dikeluarkan beberapa ormas Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.

Akan tetapi, MUI sebagai salah satu ormas penerbit sertifikat halal bekerja atas asas kesukarelaan atau “voluntary”. Produsen juga suka-suka antara ingin mendaftarkan produknya mendapat Sertifikasi Halal atau tidak sama sekali karena belum ada amanah kewajiban atau mandatory bersertifikat sesuai UU JPH.

Kemudian, terjadi loncatan besar bagaimana pemerintah hadir untuk bisa mengatur secara lebih rapi agar ada kewajiban produsen mendaftarkan kehalalan produknya dengan pijakan hukum UU JPH.

Niat baik para perancang UU JPH adalah agar dunia usaha taat akan regulasi mendaftarkan produknya mendapat sertifikat sehingga masyarakat yang di dalamnya terdapat umat Islam bisa terlindungi dari paparan produk nonhalal.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby