(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Ngeri-ngeri sedap memang fanatisme di Pemilihan Presiden 2019 ini. Kenapa disebut ngeri-ngeri sedap, karena beda pilihan sekarang berujung maut, seperti kejadian di Sampang, Madura. Bagi orang awam mungkin itu sepele. Hanya gegara status di Facebook soal Pilpres 2019, nyawa urusannya.

Ini menjadi peristiwa yang memilukan bagi bangsa Indonesia. Karena status di Facebook soal Pilpres 2019 bisa-bisa nyawa melayang. Peristiwa yang terjadi ini hanya sekelumit yang tampak di permukaan. Padahal, masih banyak peristiwa-peristiwa lain yang tidak terekam oleh rekam jejak digital.

Entah apa yang terjadi. Apa ini terjadi karena banyaknya isu yang digoreng di Pilpres 2019, sehingga mereka termakan dengan isu-isu yang sengaja digoreng oleh para buzzer kedua kandiat yang bertarung di Pilpres 2019 ini.

Yang pasti fenomena ini adalah fakta di lapangan, bukan khiasan semata untuk menerbar isu yang pada akhirnya berujung kegaduhan. Berdasarkan penelusuran tim redaksi Aktual.com ada ratusan bahkan ribuan isu yang tersebar di dunia maya. Bahkan dikehidupan sehari-hari.

Penyebaran isu hoax sebenanya bukan barang baru. Mungkin ini terjadi sudah 3-5 tahun lalu, dimana ketika pemilihan presiden 2014. Ketika itu calonnya sama yakni rival Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Tahun 2014 silam, bagi yang belum melek kecanggihan akun-akun tentunya akan tercengang, kenapa? karena mereka (buzzer) merupakan alat untuk melancarkan propaganda dan mempengaruhi publik dalam mencermati perpolitikan di Indonesia.

Misal, salah satu media asing di Inggris, The Guardian ketika itu berhasil mengungkap permainan Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok memiliki buzzer. Kepemilikian buzzer oleh Ahok tentunya bukan tanpa memiliki tujuan. Itu merupakan salah satu cara untuk merengkuh tujuan Ahok dalam berkiprah di dunia perpolitikan Indonesia.

The Guardian ketika itu menyebutnya, ‘Tim Buzzer’ adalah bagian dari politik yang sedang berkembang, membantu memecah belah agama dan rasial. Terlebih, mereka benar-benar berhasil lolos dan sukses dengan kerja ini.

The Guardian mewawancarai salah satu operator. Dia (operator) memiliki sejumlah akun palsunya dengan melandasi pada garis-garis kemanusiaan. Bercampur di antara aliran pos-pos politik, yang dibalut dengan foto wanita muda, tapi semuanya itu merupukan foto palsu (fake).

Sejumlah akun palsu ini memang bekerja untuk menyebarkan isu fitnah, kebencian dan SARA, yang dengan mudah dimakan oleh berbagai akun tiruan lainnya. Tapi, akun palsu ini, bukan untuk bersenang-senang, melainkan mereka melakukan “perang” secara politik melalui media sosial.

“Mereka mengatakan kepada kami bahwa Anda harus memiliki lima akun Facebook, lima akun Twitter, dan satu Instagram,” katanya salah satu operator kepada Guardian kala itu.

Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat di antara lima pengguna Twitter dan Facebook teratas secara global. Mungkin saat ini, peringkat itu bisa saja berubah. Terlebih, teknologi medsos di Indonesia terus berkembang.

Kerja para buzzer saat ini tentunya menjadi ladang mencari rezeki bagi mereka untuk menghidupi keluarganya. Dengan bayaran, maka kehidupan mereka bisa terjamin selama mereka diberdayakan. Terlebih bayaran mereka berpaeratif, ada yang sampai Rp20 juta.

Berdasarkan penelitian tentang industri buzzer di Indonesia, peneliti dari Pusat Penelitian Inovasi dan Kebijakan (CIPG) mengungkapkan, semua kandidat dalam pemilihan Jakarta 2017 silam nyaris menggunakan tim buzzer dan setidaknya satu dari lawan Ahok dengan terampil menciptakan “ratusan bot” yang terhubung untuk mendukung portal web.

Meski demikian, tim kampanye Anies Baswedan yang ketika itu menjadi lawan Ahok menolak menggunakan akun palsu atau bot. Sedangkan salah satu juru bicara tim dari Agus Harimurti Yudhoyono ketika itu mengatakan, mereka tidak pernah melanggar peraturan kampanye dengan menggunakan akun palsu.

Mereka berani menjelaskan untuk silakan ditelusuri siapa pihak yang memanfaatkan penggunaan akun palsu. Berdasarkan keterangan, peneliti menyebut tim buzzer beroperasi dengan cara yang sama seperti menyebarkan gosip ke publik.

“Ketika semua orang berbicara tentang hal yang sama Anda mungkin berpikir bahwa mungkin itu benar, mungkin ada beberapa manfaatnya. Di situlah letak dampaknya,” kata peneliti yang tak mau disebutkan namanya.

Di Indonesia, buzzer berbayar merupakan bukan barang baru. Tahun politik 2019 saja, baik petinggi negara maupun parpol menggunakan itu. Tidak ada seorang pun yang tahu jumlah pastinya yang menggunakan cara ini. Tetapi diyakini terdapat puluhan buzzer yang bekerja untuk pemerintah maupun melawan pemerintah.

Mereka mencoba mempengaruhi opini publik dengan berbagi propaganda dengan para pengikut mereka. Hal ini tentu saja bukan scenario kisah fiksi ilmiah distopia terbaru dari Hollywood. Hal ini merupakan kisah nyata dalam politik Indonesia tahun 2018, menjelang pemilihan presiden 2019 (Pilpres 2019).

Lawan Menggoreng