Gerak Cepat Kemenkeu Antisipasi Keuangan Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan fokus mengamati dua hal sebagai dampak dari tren pelemahan rupiah yang telah berlangsung beberapa pekan terakhir. Dua hal tersebut yaitu inflasi barang impor, subsidi BBM dan listrik.

“Kami mengkaji masalah dan pengaruhnya nilai tukar kepada dua hal, yaitu inflasi barang-barang impor dan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) serta listrik,” kata Sri Mulyani di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Selasa (8/5/2018) malam.

Menurut Sri Mulyani, dalam hal antisipasi terhadap inflasi dari barang-barang impor, pihaknya berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk menjaga tingkat inflasi tetap aman.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti mengatakan utang merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur APBN secara keseluruhan. Berbicara soal utang, tidak bisa lepas dari penerimaan dan belanja negara. Utang merupakan kebijakan yang diambil sebagai konsekuensi dari defisit karena belanja lebih besar daripada penghasilan.

“Kita bisa saja tidak berutang, caranya dengan meningkatkan penerimaan atau mengurangi belanja,” ujarnya.

Pemerintah juga melakukan berbagai terobosan kebijakan dan struktural seperti tax amnesty, pembenahan teknologi informasi dan proses bisnis serta pemberian insentif dan relaksasi pajak. Pemerintah terus mengintensifkan Reformasi di sektor perpajakan, yaitu pajak dan bea cukai.

Terkait kondisi nilai tukar rupiah yang melemah. Sebagaimana telah disampaikan oleh berbagai pengamat, akademisi dan juga pemerintah, kondisi global sedang mengalami sedikit goncangan sebagai akibat kebijakan fiskal dan moneter di Amerika Serikat. Yang pertama adalah pengumuman kebijakan moneter akan rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS yang melebihi frekwensi biasanya. Lalu ada kebijakan pemangkasan tarif pajak sebagai bagian kebijakan fiskal di AS. Ini semua menyebabkan arus modal yang tadinya tersebar di beberapa negara akan berbalik menuju ke AS. Sehingga terjadi penguatan nilai USD terhadap hampir semua mata uang dunia (broadbase).

“Jadi hal ini tidak terjadi hanya di Indonesia saja, tapi juga di banyak negara. Fundamental perekonomian negara kita yang kuat sehingga menyebabkan nilai rupiah masih bisa bertahan dengan baik. Walaupun menembus Rp 14.000, kalau dilihat dari prosentase depresiasi dibandingkan posisi akhir 2017, rupiah masih terdepresiasi di seputaran 3.88 persen. Prosentase depresiasi ini masih lebih kuat bila dibandingkan Rusia (9%), Brazil (9%) dan Philippina (4%). Cadangan devisa kita per akhir April 2018 juga masih berada pada nilai 124,86 miliar USD, setara dengan 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Ini menunjukkan fundamental kita masih sangat kuat,” jelasnya.

Dinamika perekonomian global juga ditandai adanya perang dagang Amerika dan Tiongkok, konflik geopolitik, dan konflik Amerika vs Iran. Kondisi ini juga berdampak negatif pada pasar keuangan dalam negeri . Dalam 3 kali lelang terakhir pemerintah mengambil penawaran yang masuk lebih rendah dari target indikatif yang diumumkan, terutama mengingat incoming bids yang relatif rendah karena investor cenderung wait and see terhadap perkembangan pasar keuangan global dan domestik.

“Jadi tidak benar bahwa pemerintah telah kehilangan kepercayaan dan kredibilitas karena transaksi utang. Posisi tawar kita masih lebih tinggi, sehingga pemerintah memutuskan untuk tidak menjual Surat Utang Negara pada lelang terakhir 8 Mei 2018,” terangnya.

Pihaknya juga menyiapkan berbagai alternatif sumber pembiayaan lain, antara lain private placement (dengan demand yang masih cukup banyak), penambahan pembiayaan dari pinjaman (beberapa donor telah memberikan komitmennya). Selain itu pemerintah tetap merencanakan akan menerbitkan Samurai Bond, dan terakhir terdapat juga dana investasi Badan Layanan Usaha.

“Pelemahan permintaan pada lelang Surat Utang Negara disebabkan ketidakpastian dan sentimen global, dan diharapkan sifatnya sementara. Kita percaya bahwa kondisi akan segera kembali pulih. Pada akhirnya, akan terjadi titik keseimbangan baru, the new normal,” jelasnya.

Page 7: Rupiah Melemah, Utang Membengkak

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka