Keuangan Negara yang Terus Rapuh

Pemerintah menilai utang yang terus meningkat belum menghawatirkan karena masih berada dibawah ambang batas rasio defisit anggaran dan rasio utang internasional yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara Tahun 2003. Mengikuti aturan yang berlaku di Uni Eropa, Undang-Undang itu membatasi jumlah tambahan utang Pemerintah untuk menutup defisit APBN nya sebesar 3 persen dari PDB tahunan. Batas ambang stok utang Pemerintah dibatasi hingga 60 persen dari PDB. Pada tahun 2018, defisit APBN baru mencapai 2,19 persen dan total utang negara sebesar 29.08 persen.

Namun karena utang Pemerintah adalah kebanyakan bersumber dari luar negeri, keadaaan baru menghawatirkan jika terjadi gejolak internasional yang menganggu ekspor, meningkatkan tingkat suku bunga internasional dan melemahkan nilai tukar Rupiah.

“Agar mampu membayar kewajiban utang luar negeri, Pemerintah harus memiliki surplus anggaran dan sekaligus surplus neraca pembayaran luar negeri karena dunia luar hanya mau menerima pembayaran utang dalam bentuk valuta asing. Namun faktanya, APBN tidak pernah surplus sejak tahun 2005, artinya pemerintah tidak bayar utang, atau hanya bayar bunganya saja,” ujar Guru Besar Ekonomi UI, Anwar Nasution.

Sebagaimana telah kita alami sendiri pada waktu krisis ekonomi tahun 1997-78, nilai tukar Rupiah merosot lebih dari tujuh kali lipat karena kurs Rupiah naik dari Rp 2.300 per US $ menjadi diatas Rp15.000. Jumlah kewajiban luar negeri naik menjadi 7 kali lipat sehingga ekonomi Indonesia menjadi bangkrut.

“Satu-satunya cara agar agar suatu negara bisa besar dan jaya serta terlepas dari belenggu utang adalah dengan meningkatan penerimaan negara, terutama dari pajak,” tegasnya.

Undang-Undang Pajak adalah merupakan hukum positip yang harus dipaksakan pelaksanaannya. Indonesia yang sangat luas dan memiliki kekayaan alam yang kaya juga dapat memobilisir pendapatan dari konsesi penambangan dan pengelolaan kekayaan alam, kehutanan, perkebunan, pertambangan dan hasil laut.

Sebaliknya, Pemerintah Singapura negara pulau yang kecil hanya mengontrol penggunaan tanahnya yang sangat terbatas untuk keperluan perumahan, komersil dan tujuan sosial. Sumber utama penerimaan negaranya hanya tergantung pada penerimaan pajak, utamanya pajak pendapatan dan pajak pertambahan nilai.

“Karena adanya transparansi dan kepercayaan Rakyat pada Pemerintahnya, warga Singapura justru menyambut baik atas kenaikan tarip pajak pertambahan nilai di negara itu yang akan membuat tingkat harga barang menjadi lebih mahal. Salah seorang warganegara itu yang diwawancarai surat kabar Business Times justru menyambutnya dengan baik dan mengatakan: “short-term pain buat long-term gain”. Artinya, dalam jangka pendek memang berat rasanya membayar pajak tambahan, tapi dalam jangka panjang, negara kuat dan tegak mandiri, beroperasi dengan dana penerimaan pajak sendiri tanpa minta sedekah ataupun pinjaman luar negeri,” tegasnya.

Selain itu, Dokumen resmi Pemerintah Singapura sangat terbuka dan dapat dipercaya sehingga Rakyat Singapura percaya bahwa Pemerintah menjalankan keadilan. Modal utama Perdana Menteri Lee Kuan Yew untuk memerintah di Singapura adalah dalam ketegasannya pada penegakan sistem hukum yang belaku adil bagi semua pihak tanpa memandang ras dan agama.

Page 5: Langkah BI Hadapi Ketidakpastian Keuangan dan Penurunan Likuiditas Global

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka