Rupiah Bertumpu pada Cadangan Devisa
Pengamat ekonomi politik Indonesia, Ichsanudin Noorsy mengungkapkan bahwa dalam tesis akademik, jalur krisis terdiri atas jalur keuangan atau moneter dan jalur perdagangan. Pada krisis 1997/1998 Indonesia mengalami krisis karena jalur keuangan/moneter atau krisis nilai tukar. Penyebabnya liberalisasi perbankan yang tidak terkendali dan buruknya pengawasan perbankan. Dua hal ini saya sebut sebagai moral hazard perbankan karena para bankir selanjutnya merampok bantuan likuiditas perbankan melalui kebijakan penjaminan. Akibatnya industri perbankan nasional nyaris ambruk yang dibuktikan lewat besarnya biaya pemulihan sebesar Rp670 triliun.

(Baca: Indonesia Kena Dua Pukulan, Krisis Fiskal dan Moneter )

Uraian ini menunjukkan, AS mengalami krisis pada 2008 karena perdagangan yang berdampak pada keuangan atau moneter. Trump sebagai pebinis properti menyadari pentingnya mengatasi sebab akar krisis. Dalam ilmu ekonomi, ini yang disebut dengan bauran kebijakan fiskal dan moneter. Dua hal ini berisfat kumulatif dan limitatif karena memang harus saling berkontribusi dan nyaris tidak boleh saling mengurangi. Jika yang terjadi saling mengurangi, yakni suku bunga tinggi dan belanja publik rendah, maka akan terjadi situasi tidak pasti seperti sekarang ini.

Ichsanuddin Noorsy (Foto: Aktual)

Di Indonesia, sebagaimana data yang saya distribusikan menunjukkan, inflasi rendah, suku bunga BI, walau lamban mengikuti melemahnya rupiah, defisit transaksi berjalan (perdagangan dan jasa) mencapai 3,04% dari PDB, cadangan devisa terus merosot dari 130 miliar dolar AS hingga ke 118 miliar.

“Rasio utang luar negeri terhadap PDB merangkak naik, keseimbangan primer pada APBN tetap terjadi. Investasi portofolio yang dikuasai asing sebesar 40% terus merosot. Ini yang menunjukkan kita menuju jalur ganda krisis: perdagangan dan keuangan. Untungnya cadangan devisa masih cukup membiayai impor 6 bulan kedepan sehingga saya menyatakan, luluhnya rupiah bergerak antara Rp15.500-16.000 per US$1, tergantung pada kebijakan the Fed dan kebijakan tarif Trump. Karena memang fundamental makro kita yang rapuh, waktu yang akan menjawab,” ujar Noorsy.

Next Page, Jangan Takut Beli Ikat Pinggang

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka