Jika dilihat komposisinya memang beberapa media yang “terkesan diam” dalam menanggapi Reuni 212. Jelas ini merupakan bagian dari lingkaran oligarki media yang dilakukan rezim petahana. Sebut saja Media Indonesia yang menjadi kepunyaan Surya Paloh serta Harian Sindo milik Hari Tanoesoedibjo.

Jika berkaca dari Pemilu 2014, keberhasilan citra populis yang berhasil dibangun oleh Jokowi menyebabkan beberapa elite media seperti Hari Tanoe dan Aburizal Bakrie yang awalnya mendukung Prabowo Subianto memilih untuk berbalik arah mendukung sang petahana. Hal tersebut adalah kunci bahwa penguasaan terhadap akses media masih terus menjadi penggerak kekuatan politik.

Apalagi ini menjelang Pilpres 2019, tentu petahana tak mau ambil pusing menyoal dampak politik yang ditimbulkan gerakan Reuni 212. Sehingga memanfaatkan media partisan untuk membendung glorifikasi pemberitaan acara tersebut bisa dianggap sebagai salah satu opsi terbaik.

Reuni 212 memang merupakan panggung politik yang dalam kadar tertentu, terdapat perang propaganda dalam membentuk sebuah framing secara luas. Jika menggunakan analisis framing, panggung reuni 212 pada kadar tertentu dapat mengkonstruksi opini publik bahwa Prabowo didukung oleh mayoritas umat islam.

Mengingat bahwa Aksi Bela Islam 212 pada 2016 pada kenyataanya juga berhasil menumbangkan bekas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan jalan serupa, yakni mem-framing dirinya sebagai penista agama. Terlepas dari hal tersebut, pada kondisi yang ideal, siapa pun termasuk kubu petahana akan melakukan apa pun demi menjaga kekuasaannya menjelang Pilpres 2019, salah satunya dengan cara
memanfaatkan kekuatan politiknya, baik dari media yang dikuasainya dan tersebut adalah hal yang lazim dalam realisme politik.

Tudingan Kampanye