Foto udara kawasan reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (11/5). Pemerintah telah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta hingga enam bulan mendatang sambil membuat rencana induk holistik, terperinci dan mendalam terkait proyek pembangunan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau Proyek Garuda yang lebih dikenal dengan nama tanggul laut raksasa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Indonesian Center Environment Lawyer (ICEL), Henri Subagiyo, mengatakan, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mencabut izin pelaksanaan reklamasi nomor 2238/2014 merupakan bentuk preseden yang baik dalam penegakkan hukum.

“Putusan ini merupakan preseden yang baik. Pertimbangan hakim dalam memutus sudah tepat dan progresif,” ucap dia kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (1/6).

Ia pun mengatakan jika langkah yang diambil oleh hakim ketua Adhi Budi Sulistyo yang memimpin sidang tersebut patut dicontoh oleh hakim-hakim lainnya yang juga menangani persoalan lingkungan hidup.

“Dalam beberapa pertimbangannya hakim menggunakan argumentasi hukum lingkungan dan pertimbangan-pertimbangan yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,” jelas dia.

Pertimbangan pertama, lanjut Henri, hakim menyebutkan bahwa izin reklamasi yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tidak partisipatif dan transparan.

“Yang mana tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,” tutur dia.

Sehingga, terang Henri, izin reklamasi yang dimiliki oleh PT Muara Wisesa Samudra (MWS) yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land (APL) bertentangan dengan Pasal 31 dan 39 Undang-Undang nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Alasannya, baik pengembang ataupun Pemprov DKI tidak menyertakan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup dalam perencanaan Anilisis Dampak Lingkungan (Amdal). Dan, izin tersebut juga tidak dipublikasikan kepada media agar mudah diakses oleh masyarakat.

“Kedua, hakim mempertimbangan asas kehati-hatian dalam putusannya. Walaupun belum terasa secara langsung dampak lingkungan secara masif, hakim menyatakan kerugian lingkungan hidup perlu diantisipasi sejak dini,” tambah dia.

Menurut Henri, hakim telah mengambil keputusan tepat dengan tidak menyamakan kerugian atas kerusakan lingkungan hidup dengan kerugian materiil langsung.

Kemudian, izin yang diterbitkan oleh gubernur tidak sesuai dengan prosedur karena tidak didasari oleh peraturan perencanaan ruang yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

“Dengan tidak adanya perencanaan ini, dapat terjadi konflik di wilayah pesisir. Terlebih, perencanaan di wilayah pesisir tersebut juga harus didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),” jelas dia.

Selain pertimbangan mengenai dampak lingkungan dan prosedur, hakim juga mempertimbangkan keadilan sosial. Dimana hakim pun mempertinbangkan kerugian yang akan dialami oleh para nelayan yang lahan tangkapnya dirampas oleh proyek pengembang.

“Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan proyek reklamasi mengakibatkan kerugian berupa hilangnya sumber penghidupan para nelayan,” terang dia.

Terakhir, Henri menyarankan agar setiap hakim dapat bersertifikasi lingkungan hidup yang gunanya dapat melahirkan putusan-putusan yang sejalan dengan pembangunan yang berkelanjutan.

“Ketua majelis hakim, Adhi Budhi Sulistyo yang merupakan hakim bersertifikasi lingkungan hidup, membatalkan SK yang dikeluarkan gubernur dengan menggunakan perspektif lingkungan. Ini perlu dicontoh dalam kasus-kasus lingkungan hidup lainnya,” pungkas Henri.

Seperti diketahui, izin pelaksanaan reklamasi Pulau G telah dibatalkan oleh PTUN pada 31 Mei lalu. Persidangan itu sendiri telah berjalan selama sembilan bulan dengan menyajikan pandangan beberapa ahli yang berkaitan dengan lingkungan hidup, undang-undang ataupun hukum.

Artikel ini ditulis oleh: