Ilustrasi Mineral Mentah

Jakarta, Aktual.com – Kebijakan Pemerintah memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah, telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja ( PHK ) secara besar-besaran. Karena disinyalir akibat pembukaan kran ekspor membuat harga nikel menjadi jatuh dan biaya produksi smelter dalam negeri lebih tinggi dibanding harga jual.

Akibatnya banyak perusahaan smelter nasional berhenti berproduksi dan ribuan karyawan mendapat PHK. Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai sumber permasalahan ini karena pemerintah tidak konsisten dengan UU No 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor mineral mentah.

“Kementerian ESDM telah salah paham memaknai isi dan maksud semangat dibuatnya UU Minerba No 4 Tahun 2009,” ujarnya dalam siaran persnya yang diterima Aktual.com, di Jakarta, Senin (24/7)

Oleh karena itu, dia meminta Presiden Jokowi menyadari kekeliruan yang ada berjiwa kesatria untuk mengoreksi Peraturan Pemerintah PP No 1 Tahun 2017 yang menjadi dasar acuan relaksasi ekspor mineral mentah.

“Mengingat korban sudah berjatuhan baik pengusaha smelter dan pemilik IUP Operasi Produksi dan seluruh karyawan pekerja dan pihak pihak terkait karena dampak turunannya, sebaiknya Pemerintah Jokowi harus berjiwa besar mengoreksi kekeliruan yang nyata oleh pembantunya di KESDM yang telah gagal menyukseskan program idustrilisasi mineral logam berharga sesuai pesan konstitusi,” ujarnya.

Sebelumya Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyampaikan setidaknya ada 32 smelter yang dibangun sejak 2009 atau sejak penerbitan UU Minerba. Mereka tergabung dalam AP3I.

Namun saat ini kondisi perusahaan smelter sedang menjerit dan sekarat. Khususnya pemurnian nikel berjumlah 25 smelter. Dari jumlah tersebut sebanyak 2 smelter yang dinyatakan sehat dan terus berproduksi, sementara 3 lainnya dalam kondisi tertatih-tatih.

Kemudian sebanyak 6 smelter yang sempat berproduksi, lalu kembali sunyi dan beku. Sedangkan sisanya sebanyak 16 smelter yang sudah dibangun tersebut, tidak mau berproduksi karena harga jual lebih rendah daripada harga produksi. Oleh sebab tidak ekonomis, untuk sementara diperkirakan sebanyak 12 rubu karyawan kehilangan pekerjaannya.

“Yang 25 itu hanya nikel, yang berhenti itu yang sudah jelas itu yang 25 itu dipotong 2 dulu ya, di Morowali, jadi hanya 23 kan, yang 23 itu pun harusnya semuanya dalam kondisi berhenti, tapi ada 3 yang mulai start tertatih-tatih,” kata Wakil Ketua AP3I, Jonathan Handoyo.

 

Laporan Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh: