Sejarawan Bonnie Triyana mengemukakan, hal-hal semacam ini sejatinya bukanlah hal baru. Dihubungi Aktual pada 5 April 2018 lalu, ia menyatakan bahwa tindakan yang bernada menghina agama Islam secara terang-terangan seperti yang dilontarkan Ahok dan Sukmawati telah terjadi pada era kolonial Belanda.

Januari 1918, sebuah media massa berbahasa Jawa, Djawi Hiswara menerbitkan tulisan berjudul “Pertjakapan Marto dan Djojo”.

Bonnie mengatakan, artikel tersebut memang tidak menghina ajaran Islam, melainkan menghina Nabi Muhammad SAW.

“Goesti Kanjeng Nabi Rasul itu minum ciu A.V.H. dan minum opium….” demikian kutipan artikel tersebut.

Sebelum artikel ini terbit, kata Boonie, kondisi politik Islam di Hindia Belanda tengah tidak bagus. Syarikat Islam (SI), sebagai satu-satunya partai politik berbasis Islam dan menjadi parpol terbesar pada saat itu, tengah didera perpecahan.

“Pertama oleh isu miss manajemen organisasi. Kedua, oleh isu politik kedekatan Tjokro (Ketua SI, Tjokroaminoto) dengan pemerintah kolonial, Syarikat Islam saat itu disebut-sebut dekat dengan pemerintah kolonial. Ketiga isu korupsi,” kata Bonnie menyebut tiga faktor perpecahan dalam tubuh SI.

Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya SI cabang Semarang yang dipimpin oleh Semaun cs, yang pada kemudian hari bermetamorfosis menjadi PKI.

Kondisi ini pun banyak digugat oleh banyak kader dan kritikan yang dialamatkan kepada pimpinan SI juga sangat kencang. Tjokro pun kehilangan kendali atas SI.

“Sampai kemudian munculah tulisan dalam Djawi Hiswara itu yang kemudian dimanfaatkan oleh Tjokro sebagai cara untuk mempersatukan lagi orang-orang yang meragukan dan mempertanyakannya. Jadi ada musuh bersama,” kata Bonnie.

Tjokro pun membentuk sebuah tim aksi bernama Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang khusus digunakan untuk melakukan aksi protes terjadi Djawi Hiswara pada 6 Februari 1918.

Menurut Bonnie, tulisan ini muncul lantaran adanya perdebatan di antara kelompok politik. Surat kabar Djawi Hisworo sendiri lebih mendukung Boedi Oetomo, yang menjadi representasi dari kelompok politik berbasis suku Jawa.

Pada masa itu, SI dengan Boedi Oetomo memang tengah berebut pengaruh dan kursi dalam Dewan Rakyat atau Volksraad. Perdebatan di antara keduanya, lanjut Bonnie, bukan menjadi esensi, tapi justru persoalan politik, tentang perebutan pengaruh, saling sindir dan ejek.

“Ini menimbulkan pendapat dan sikap politik, sehingga memunculkan saling ejek, kayak sekarang aja di twitter atau sosmed lah. Nah si Djawi Hiswara ini offside, langsung dilalap habis, didemo ribuan orang dan pemerintahnya pun bersikap sama kayak kasus Ahok,” jelas Pemimpin Redaksi dari Historia ini.

Dalam kasus ‘Puisi Ibu Indonesia’, Bonnie pun membandingkan Sukmawati dengan Bung Karno. Menurut Bonnie, Presiden pertama RI itu juga kerap mengkritik pemikir-pemikir Islam dalam zamannya.

Kritik yang dilontarkan oleh Bung Karno, kata dia, bukanlah ekspresi sentimen atau sikap benci terhadap Islam, melainkan justru perdebatan yang dibangun untuk memajukan Islam itu sendiri.

Hal ini terjadi lantaran salah satu proklamator kemerdekaan RI ini cenderung mengukur segala sesuatu, termasuk agama, dengan rasional.

“Dia dalam memahami sesuatu, dia mencoba memahaminya dengan logis dan rasional, begitu pula dengan agama. Dia sering berdebat dengan ulama Persis, Ahmad Hasan, jangan salah,” jelas Bonnie.

Salah satu kritik yang dilontarkan Soekarno adalah tentang donor darah yang ditentang oleh ulama pada periode 1930-an. Pada masa itu, beberapa ulama mengharamkan seorang muslim untuk mendonorkan darahnya kepada pemeluk agama lainnya.

“Tahun 30-an itu ada pendapat yang mengatakan bahwa donor darah itu haram, terus dikritik sama Bung Karno. Kata dia ini soal kemanusiaan, kalau dalam sebuah perang ada orang yang butuh darah ya harus didonor tanpa perlu ditanya agamanya apa,” bebernya.

Saat ditanya tentang Sukmawati, Bonnie sendiri ragu jika putri Soekarno itu merupakan seorang anti Islam. Ia beralasan, sangat kecil kemungkinan hal itu terjadi mengingat ia dididik oleh ajaran Muhammadiyah dari ibunya, Fatmawati.

Bung Karno sendiri merupakan pribadi yang diketahui dekat sejumlah ulama semasa ia hidup. Namun, yang membedakan Soekarno dan Sukmawati adalah perannya dalam memajukan dan memperbaharui Islam.

“Kalau ada yang bilang Soekarno sentimen sama Islam, pasti dia anteknya penjajah. Sukarno diakui sebagai pembaharu Islam,” tandas Bonnie.

Sentimen Anti Islam Dalam RPJMN Jokowi

Kasus terkait ucapan atau ekspresi yang bernada agama sendiri tampak tumbuh subur dalam beberapa tahun belakangan, khususnya dalam pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Puisi yang dibacakan Sukmawati adalah yang paling baru, setelah kasus Ahok dan beberapa kasus penghinaan agama lainnya.

Pengamat politik Ichsanuddin Noorsy mengemukakan pendapatnya tentang hal ini. Menurutnya, ekspresi anti Islam menjamur dalam pemerintahan Jokowi dipengaruhi oleh faktor di luar negeri dan dalam negeri.

Dari faktor internasional, ungkap Noorsy, hal ini berkaitan dengan buku Samuel P Huntington, Clash of Civilization atau Benturan Peradaban, yang terbit pada 1996 silam. Ia mengatakan, buku itu menyebutkan bahwa setelah komunis, Islam merupakan satu-satunya peradaban yang belum dapat dijatuhkan barat.

“Sesungguhnya, buku Huntington sudah menempatkan Islam sebagai musuh barat,” kata Noorsy ketika dihubungi Aktual, Sabtu (7/4) lalu.

Hal ini terbukti dengan adanya krisis ekonomi yang menerpa sejumlah negara Asia pada setahun setelah buku itu terbit. Menurutnya, krisis ekonomi tersebut didesain untuk memukul dua negara yang berpotensi dapat menjatuhkan barat, yaitu Malaysia dan Indonesia.

Kedua negara ini memang erat kaitannya dengan Islam. Malaysia merupakan negara Islam, sedangkan Indonesia adalah sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Maka mereka (Malaysia dan Indonesia dijatuhkan lewat nilai tukar,” katanya.

Hal ini ditambah dengan suatu peristiwa yang disebut playing victim, yaitu hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York, pada 11 September 2001. Hal ini pun berlanjut dengan adanya invasi AS ke sekutunya ke Afganistan (2001) dan Irak (2003).

Dalam perkembangannya, di tengah fokusnya dalam berupaya memporak-porandakan Islam, Noorsy mengatakan jika AS sendiri tidak sadar jika mereka memiliki beberapa musuh baru, di antaranya adalah Cina, Rusia, Venezuela, Bolivia dan Brazil.

AS bahkan sempat terlibat perang dagang dengan China pada masa itu. Dalam perang dagang ini, Cina berhasil mempecundangi AS.

“Dekan Fakultas Ekonomi Washington University bahkan menyebut bahwa ekonomi AS salah arah (setelah kalah perang dagang dengan China),” kisah Noorsy.

“Rupanya kekalahan perang dagang AS makin hari makin besar. Lalu Arab Spring pun mulai direncanakan,” tambahnya.

Arab Spring sendiri merupakan peristiwa di mana sejumlah negara Arab diterpa oleh unjuk rasa besar-besaran pada media 2011 silam. Aksi ini pun mengakibatkan jatuhnya pemerintahan negara-negara itu, di antaranya adalah Mesir, Tunisia dan Libya.

Selain itu, meroketnya harga minyak hingga 100 dollar AS per barel pada 2008 juga merupakan campur tangan dari negara Paman Sam. Noorsy mengatakan, kebijakan tersebut dimaksud untuk memukul China dan musuh-musuh AS lainnya melalui harga minyak.

“Tapi ternyata memukul AS sendiri karena memicu defisit perdagangan sebesar 323 miliar dollar AS,” ungkapnya.

Di saat yang sama, lanjut Noorsy, AS masih tetap konsisten dengan kebijakan politik luar negeri yang berupaya menekan negara-negara Islam, seperti Afghanistan, Pakistan dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

“Jadi ada dua beban biaya, pertama kalah perang dagang (dari China), dan kedua politik menekan negara Islam,” sebutnya.

Pada saat Obama menjadi Presiden, AS berhasil merealisasikan rencana Arab Spring dan membuahkan ISIS.

“Model Obama adalah pecah belah dan adu domba melalui ISIS,” kata Noorsy.

Sementara pada kepemimpinan Trump, ada dua hal yang digiatkan olehnya, yaitu proteksi ekonomi dan kesadaran kaum protestan.

“Begitu Trump terpilih, muncul Judio Christianity, gabungan dari kelompok Yahudi dan Kristen untuk memerangi Islam,” jelas pria bergelar doktor ini.

Pada saat yang bersamaan, lanjut Noorsy, muncul dokumen Connectivity War yang dikeluarkan oleh Uni Eropa. Dokumen ini bercerita tentang Turki yang menjadi pintu masuk bagi imigran dari negara korban ISIS, atau negara yang menjadi korban adu domba Obama.

“Kajian ini membuktikan, imigran menyebar ke Eropa, AS dan Kanada,” jelas Noorsy.

Sebagaimana diketahui jutaan orang dari Timur Tengah memang melakukan eksodus ke Eropa lantaran terjadi perang berkepanjangan di negaranya, dalam beberapa tahun belakangan ini.

Akibat dari hal tersebut, jutaan imigran dari negara Islam di negara-negara Eropa, pun dianggap sebagai ancaman serius bagi peradaban barat dalam jangka waktu 20-30 tahun mendatang.

Di Inggris misalnya, kedatangan jutaan imigran ini disebut akan mengurangi lapangan kerja bagi warga lokal dan menurunkan pertumbuhan ekonomi negara Ratu Elizabeth itu.

Negara-negara barat, lanjut Noorsy, pun tidak dapat menghindar dari fenomena ini lantaran terikat dalam sebuah aturan dari United Nations High Commisioner for Refuges (UNHCR), sebuah lembaga PBB yang mengurusi masalah pengungsi dalam dunia internasional.

Dampak yang terasa dari eksodus jutaan imigran ini adalah adanya sebutan ‘Londonistan’, yaitu berubahnya bangunan-bangunan gereja yang beralih fungsi menjadi masjid.

Sedangkan di benua Amerika, penduduk AS berbondong-bondong untuk memeluk agama Islam.

“Dalam 20-30 tahun ke depan, imigran ini disebut dapat menjadi peradaban yang menyaingi barat, yang notabene merupakan peradaban Kristen dan Yahudi,” jelas Noorsy.

Barat, jelas Noorsy, pun tidak akan menyangka jika kebijakan politik luar negeri di Timur Tengah justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

Sementara di tataran domestik, dimusuhinya Islam berawal dari sikap tegas beberapa kelompok Islam yang menolak paham pluralisme, liberalisme, sekuler dan materialisme.

“Di masjid-masjid, sikap ini semakin menjadi-jadi. Di Indonesia, yang menolak secara tegas paham-paham tersebut adalah FPI dan HTI,” ungkap Noorsy.

Dengan demikian, dua kelompok Islam ini pun dijadikan musuh bersama oleh kelompok-kelompok berbasis paham liberalisme, pluralisme dan sekuler.

Tidak hanya itu, sikap diskriminatif terhadap Islam bahkan dikatakan Noorsy telah dilegalkan oleh pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

RPJMN 2015-2019 yang didasari oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 ini sendiri disebut Noorsy telah menyebutkan kelompok intoleran.

Dalam Buku I RPJMN 2015-2019, kelompok intoleran memang menjadi satu dari tiga masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia.

“Celakanya, kelompok intoleran yang dimaksud pemerintah dalam RPJMN ini adalah kelompok Islam. Artinya dari situ, Islam yang dimusuhi,” tegas Noorsy.

Dengan demikian, tambahnya, secara tidak langsung RPJMN telah menjadi bukti bahwa sikap pemerintah Indonesia cenderung terpengaruh oleh barat dalam isu benturan peradaban.

“Negara mengakui benturan agama, dalam hal ini terwakili oleh Ahok versus Anies dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu,” tutupnya.

Radikalisme Sekuler

Sementara itu, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki pernah mewanti-wanti agar pemerintah dan masyarakat lebih berhati-hati dalam tumbuhnya radikalisme sekuler.

Ruki mengatakan, radikalisme sekuler merupakan ancaman yang tidak kalah bahayanya dengan radikalisme agama bagi Indonesia. Peringatan Ruki diekspresikannya melalui sebuah tulisan yang dibuat pada akhir Maret 2017 silam.

Menurut Ruki, negara terbukti memberi perhatian terhadap ancaman radikalisme agama dengan membentuk Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) dan dilengkapi lagi sebuah detasemen khusus bernama Detasemen Khusus 88 (Densus 88).

Namun, hal yang sama justru tidak diberlakukan terhadap radikalisme sekuler, meskipun paham ini dianggap bertentangan dengan Pancasila.

“Yang menarik adalah negara tidak mewaspadai bahaya radikalisme sekuler yang juga bertentangan dengan ideologi negara Pancasila,” kata Ruki.

“Sampai saat ini tidak ada aparat negara yang berteriak keras tentang perlunya mewaspadai paham radikalisme sekuler yang merebak di Indonesia. Tidak ada dibentuk badan khusus penanggulangan bahaya sekulerisme. Tidak ada detasemen khusus yang ditugaskan untuk itu,” imbuhnya memaparkan.

Merujuk pada pendapat Harvey Cox, Ruki merumuskan tiga pilar sekulerisme, yaitu dischanment of nature, desacralization of politics, dan deconsecration of values.

Dischanment of nature dapat diartikan bahwa kehidupan dunia harus disterilkan dari pengaruh rohani dan agama. Sekuler liberal, dikatakan Ruki, telah membatasi peran agama sebatas persoalan personal.

“Agama hanya cukup sampai dinding masjid atau gereja. Di luar itu, akal manusia lah tuhannya. Sekuler radikal ingin menyingkirkan agama dari kehidupan. Ini beda tipis dengan komunisme,” ungkap purnawirawan polisi ini.

Sementara itu, dalam pilar kedua atau desacralization of politics, menekankan pada praktik dunia politik yang bebas dari pengaruh agama dan nilai spiritual.

“Politik semata urusan akal manusia. Agama dan segala simbolnya dilarang terlibat dalam urusan politik. Agama sendiri, politik itu wilayah tersendiri yang harus dipisahkan. Keduanya tidak bisa disatukan,” jelas Ruki.

Pilar terakhir, deconsecration of values, jelas Ruki, menitikberatkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanyalah nilai-nilai yang relatif.

Menurut Ruki, doktrin ini menisbikan kebenaran yang ada dalam kitab suci. Bagi kaum sekular, kitab suci itu hanya buatan manusia.

“Oleh karena itu penganut paham ini suka mengolok-ngolok kitab suci mereka sendiri, termasuk kitab suci orang lain,” tutup Ruki.

Nebby/Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan