Jakarta, Aktual.com – Habis lebaran, ketika kita di tanah air mulai sibuk halal bihalal, pasar minyak menunggu berlangsungnya sidang OPEC ke 174 di Wina (22 Juni 2018). Sebelum sidang, akan diawali dengan acara yang cukup prestigious, yaitu: OPEC Seminar ke-7 (20 – 21 Juni 2018) yang dihadiri juga oleh banyak pejabat setingkat menteri dari negara negara produsen Non-OPEC.

Kecenderungan harga minyak yang meningkat beberapa bulan terakhir dan beberapa isu seperti sangsi US terhadap Iran dan permasalahan penurunan produksi dan ekspor Venezuela, serta himbauan Trump agar Arab Saudi menaikkan produksi untuk menekan harga, serta isu geopolitik lain membuat sidang OPEC kali ini dirasakan sangat penting. Pasar menanti keputusan OPEC untuk tetap mempertahankan level produksi atau menaikkan produksi.

Sebelum sidang OPEC digelar, kesibukan di Sekretariat OPEC sudah dimulai dengan serangkaian rapat yang membahas fundamental supply demand yang disampaikan oleh para analis OPEC. Hasil rapat ini menjadi acuan para menteri OPEC pada sidang tersebut, di level menteri tentu keputusan juga sangat dipengaruhi oleh faktor faktor non fundamental.

Situasi sidang kali ini, secara psikhologis berbeda dengan sidang OPEC ke 171 (30 November 2016) dimana terjadi ketegangan saat penentuan alokasi pemotongan produksi bagi negara-negara anggota untuk mencegah harga semakin merosot. Sidang tersebut memutuskan pemotongan produksi OPEC dari 33.8 juta barel per hari menjadi 32.5 juta barel per hari. Kecenderungan harga naik belakangan ini sebenarnya membuat sidang OPEC kali ini mestinya relatif lebih rileks, namun tidak ada jaminan bahwa sidang untuk memutuskan tetap mempertahankan produksi sesuai perkiraan OPEC di Q2 2018 sekitar 32.4 juta barel per hari atau menaikkan produksi sesuai himbauan Presiden Trump akan berjalan mulus.

Prediksi harga minyak – “nobody really knows”
Ketika mulai dirasakan terjadi banjir pasokan akhir 2014 yang di picu oleh revolusi shale oil di US, harga minyak anjlok, banyak pihak kemudian memprediksi bahwa harga akan terus rendah dalam jangka waktu yang relatif lama (lower for longer). Kekhawatiran ini sangat beralasan, sejarah harga minyak menunjukkan, ketika pemicu anjloknya harga akibat kelebihan pasokan, maka pemulihan harga berlangsung lebih lama, dibanding ketika pemicu merosotnya harga akibat turunnya permintaan.

Berapa harga minyak kedepan, pada dasarnya sangat sulit diprediksi, tidak ada yang tahu, apalagi konsisten dengan prediksi yang akurat. Banyak sekali pengamat harga minyak dan konsultan yang mengomentari pergerakan harga minyak, mereka sebenarnya agak mirip komentator sepak bola, baru akurat analisanya dan komentarnya ketika pertandingan selesai, atau minimal lumayan berbobot komentarnya setelah jeda babak pertama.

Prediksi harga minyak juga dapat bias, karena dipengaruhi oleh psikhologis, latar belakang dan asal institusi yang mengeluarkan prediksi tersebut, data yang dilihat relatif sama, tapi analisanya berbeda tergantung perspektif. Situasi ini mirip fenomena melihat gelas yang terisi setengahnya, pihak yang optimis dan berkepentingan dengan harga tinggi melihatnya setengah penuh (half full), sementara pihak yang pesimis dan berkepentingan dengan harga rendah melihatnya setengah kosong (half empty).

Fundamental harga minyak dipengaruhi oleh pasokan dan permintaan, harga rendah berdampak terhadap penurunan investasi hulu migas, akibatnya pasokan global menjadi ketat yang mendorong meningkatnya harga minyak. Naiknya harga minyak berdampak kepada maraknya investasi hulu migas, pasokan minyak menjadi melimpah yang selanjutnya mendorong harga turun, begitulah kira-kira siklus sederhananya, tentu ada _time lag_ antara investasi dan produksi, tidak berlangsung instan.

Siklus ini menjadi kompleks karena pasokan dan permintaan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: pertumbuhan ekonomi, teknologi, suku bunga, nilai tukar, pasar finansial (future), energi alternatif, energi efisiensi, regulasi terkait lingkungan, perkembangan mobil listrik, spare capacity, inventory, keputusan OPEC, ketegangan geopolitik, perang, bencana alam, cuaca dan lain-lain.

Perusahaan minyak menghadapi risiko terkait prediksi harga minyak, ketika keputusan investasi dibuat, diperlukan asumsi harga minyak, pada saat realisasinya ketika asumsi tersebut meleset jauh, dapat membuat perusahaan bangkrut. Berbeda dengan konsultan atau pengamat, begitu perkiraan meleset, tinggal meng- update dan mengeluarkan perkiraan baru.

Implikasi bagi Indonesia
Permasalahan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia dimana kecenderungan semakin membesarnya kesenjangan antara konsumsi dan produksi, membuat kebutuhan dan ketergantungan terhadap impor minyak semakin besar. Harga minyak meningkat merepotkan APBN karena berdampak terhadap BBM bersubsidi, meskipun dari sisi pasokan, harga minyak naik merupakan insentif untuk mendorong kegiatan hulu migas. Sebaliknya harga minyak turun berdampak terhadap lesunya sektor hulu migas.

Dalam situasi ini, tampaknya baik harga minyak cenderung naik atau turun, sama sama menuai masalah. Permasalahan inti yang harus dijawab adalah bagaimana memperkeci kesenjangan konsumsi dan produksi. Bagi negara populasi besar dengan pertumbuhan tinggi, naiknya konsumsi sesuatu yang wajar, yang dapat dikurangi adalah pemakaian BBM yang boros dan tidak efisien. Hal yang urgent untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan tersebut melalui peningkatan produksi.

Kenaikan produksi yang berkesinambungan pada dasarnya hanya dapat diperoleh dari penemuan cadangan minyak baru yang besar (giant discovery) dari kegiatan eksplorasi dan kegiatan EOR (Enhanced Oil Recovery). Namun dampak dari kegiatan ini memang tidak instan, baru dapat dirasakan dalam jangka menengah dan panjang. Kebijakan visioner yang berorientasi kedepan mutlak diperlukan di sektor hulu migas. Visi yang menyatakan dan memetakan kemana arah industri migas tersebut akan dibawa, suatu kondisi yang lebih baik, lebih berhasil dan lebih diinginkan dibanding kondisi sekarang.

Sinergi antara pihak yang berkepentingan perlu diperkuat, masing-masing harus melihat kepentingan bangsa yang lebih besar, tidak menghabiskan tenaga untuk berdebat demi kepentingan jangka pendek yang instan dan populer, yang sibuk bekerja semata-mata dalam rangka mencapai indikator kinerja masing-masing institusi tanpa menyentuh akar permasalahan yang akan dihadapi anak bangsa dalam jangka menengah dan jangka panjang.

Ditulis oleh: Benny Lubiantara
Pekerja SKK Migas, Mantan Fiscal Policy Analyst OPEC (2006-2013), Ketua Dewan Pakar IATMI (2014-2016), Alumnus PPRA 55 Lemhannas, Penulis 3 buku migas: Ekonomi Migas (2012), Dinamika Industri Migas (2014), Paradigma Baru Pengelolaan Industri Hulu Migas & Ketahanan Energi (2017)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka