Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan menyebutkan, perusahaan yang menerbitkan media massa harus badan hukum yang bergerak dalam bidang pers. Bila perusahaan atau badan hukum yang bersifat umum dan tidak memiliki izin penerbitan pers, maka tidak boleh menerbitkan media massa.

“Nanti perusahaan taksi boleh menerbitkan media massa,” ujar Bagir, Jumat (23/3) siang di Jakarta.

Menurut Bagir Manan, media massa hanya boleh diterbitkan oleh badan hukum yang bergerak dalam penerbitan pers. Perusahaan yang bukan pers namun menerbitkan media massa, dapat dipidana menggunakan undang-undang pidana umum dan pidana khusus. Atau jika penyebarannya melalui sarana online, dapat diproses berdasarkan Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik ITE.

“Tidak perlu menggunakan Undang-undang Pers. Pelanggaran semacam itu bukan pelanggaran etik, tapi jelas merupakan pidana. Bisa pidana umum atau pidana ITE,” kata Bagir yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung itu.

Sementara, berdasarkan anggota Pokja Hukum Dewan Pers, Chelsea semua pengelola perusahaan yang menerbitkan media dan pengelola media, dapat diproses secara hukum jika melakukan penyebaran berita bohong atau berita yang tidak akurat.

Kata dia, polisi berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap siapa pun yang menyebarkan berita yang tidak akurat atau berita bohong. “Siapa pun yang menyebarluaskannya, dengan metoda apa pun dan tujuan apa pun,” kata Chelsea kepada wartawan.

Kasus Indoneia Tatler

Kedua tokoh yang membidangi media itu dimintai pendapatnya terkait adanya pengaduan tentang penyebaran berita yangg tidak akurat atau bohong, yang dilakukan Majalah Indonesia Tatler. Kasusnya sejak Oktober 2017 ditangani oleh pihak Polda Metro Jaya.

Kebetulan majalah itu diterbitkan oleh PT Mobiliari Stephindo, yang tidak memiliki izin penerbitan pers. Oktober 2017 Ello Hardiyanto (63), warga Jalan Guntur di Jakarta Selatan, mengadu kepada Polda Metro Jaya melalui laporan Polisi Nomor: TBL/5030/X/2017/PMJ. Ello menilai majalah tersebut bulan Mei 2017 menyebarkan diduga berita bohong atau berita yang tidak akurat sehingga merugikan dirinya.

Menurut Ello dalam laporannya, Majalah Indonesia Tatler versi cetak Edisi Maret 2017 dan versi online Edisi Maret 2017, menyiarkan sebuah foto yang berisi gambar perkawinan putranya. Resepsi perkawinan tersebut berlangsung 15 Januari 2017 di Hotel Mulia, Jakarta Pusat.

Hal itu pun diadukan ke Dewan Pers, dan dalam sidangnya pada bulan Oktober 2017 menyatakan Majalah Indonesia Tatler terbukti melakukan pelanggaran melalui pemberitaan edisi Maret 2017 itu.

Dewan Pers menemukan bahwa PT Mobiliari Stephindo, perusahaan yang menerbitkan majalah itu, tidak memiliki izin sebagai perusahaan media. Bila ada perusahaan yang tidak memenuhi permintaan hak jawab, padahal sudah menyebarkan berita yang tidak akurat atau berita bohong, maka pengelolaa perusahaan dan pengelola media itu dapat dipidana.

“Bisa kena pidana penjara dan pidana denda,” kta Chelsea secara tegas.

Majalah Indonesia Tatler, sampai pertengahan Maret 2018 belum memenuhi hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 09/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab, Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik dan Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Padahal, sejak awal Mei 2017 Managing Editor majalah itu sudah mengakui kesalahan pihaknya dalam memberitakan. Oktober 2017, pihak majalah itu hanya menyelipkan sepotong informasi yang menyatakan bahwa Ello Hardiyanto adalah orangtua biologis pengantin pria.

“Redaksi Indonesia Tatler sama sekali tidak minta maaf kepada para pembaca maupun kepada Ello Hardiyanto. Dan pemuatan hak jawab serta koreksi itu sama sekali tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” kata Albert Kuhon selaku pengacara Ello.

Redaksi Diperiksa Polda

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Andy Abdul Hamid