Jakarta, 13/12, Polusi Udara: Kendaraan berjalan menembus asap tebal yang berasal dari polusi asap pabrik dan kendaraan bermotor di Jl Bekasi Raya, Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis, 13/12. Ruang terbuka hijau dan penggunaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan sangat diperlukan untuk mengurangi buruknya polusi dan kualitas udara di Jakarta. FOTO SINDO/ARIE YUDHISTIRA

Jakarta, Aktual.com – Kelompok masyarakat peduli udara sehat di Jakarta mengatakan pencemaran udara DKI selama tiga tahun terakhir telah melewati baku mutu.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (14/1), mengatakan selama 2016 hingga 2018 parameter pencemar udara untuk PM 2,5 di Jakpus dan Jaksel selalu menunjukan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta. “Standar tahunan nasional dan WHO masing-masing adalah 15 ug/m3 dan 10 ug/m3. Namun konsentrasi PM tahunan 42,2 ug/m3 dan 37,5 ug/m3,” ujar dia.

Parameter pencemar lain seperti Ozone juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta adalah masing-masing, 50 ug/m3 dan 30 ug/m3. Namun dalam tujuh tahun terakhir, 2011 hingga 2018, di sejumlah wilayah seperti Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, angkanya di atas itu.

Pendiri Thamrin School of Climate Change and Sustainability Jalal menekankan sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakan pengendalian udara, baik di pusat maupun daerah. “Perbaikan kebijakan ini harus mencakup seluruh aspek sumber pencemar, baik sumber bergerak seperti kendaraan maupun sumber tidak bergerak, tambahnya.

Menurut Ahli Pencemaran Udara dan Lingkungan ITB Driejana ada sejumlah hal yang bisa mendorong percepatan pemulihan kualitas udara.

Misalnya perbaikan dari segi data pendukung kebijakan, perbaikan dari segi pengendalian dan reduksi emisi, lalu meningkatkan peran Pemda dan tentunya pemerintah pusat.

“Sebenarnya DKI telah lebih progresif terhadap penyediaan data pencemaran udara dengan menjadi daerah yang memiliki data pencemaran udara terlengkap. Namun memang pemanfaatan data untuk pengembangan kebijakan masih perlu ditingkatkan,” jelasnya. Ia mengharapkan penyediaan data pencemaran udara ini, bisa diikuti wilayah lain yang memiliki risiko pencemaran udara di Indonesia.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin