Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, memberikan bantahan dihadapan wartawan, di Gedung Nusantara III, Kompleksp Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/2), terkait perkataan Nazaruddin dalam persidangan kasus E-KTP. Selain menyampaikan bantahan secara tertulis yang berjudul "Grand Korupsi M.Nazaruddin", Fahri yang mengaku tidak pernah ada bisnis di DPR selama hampir 14 tahun menjadi anggota dan Pimpinan DPR, akan terus melawan persekongkolan Nazar dan KPK. AKTUAL/Tino Oktaviano
Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah angkat bicara atas permintaan Nahdlatul Ulama (NU) untuk tidak tidak lagi menyebut istilah Kafir kepada non muslim.
Ia menegaskan bahwa, kata kafir berasal dari kitab suci umat Islam yang siapapun tidak bisa merubahnya. Namun, apabila bahasa itu dibuat oleh manusia tentu bisa diamandemen. 
“Jika ada kata kafir dalam konstitusi dan UU, mari kita amandemen, itu buatan manusia. Katanya kita disuruh jangan campur agama dan politik. Beginian aja gak bisa dicerna,” tulis Fahri Hamzah lewat Twitternya, Jumat (1/3). 
Lebih lanjut Fahri menerangkan, kata kafir banyak digunakan dalam kitab suci, tidak hanya Alquran. “Kenapa yang jadi korban hanya agama Islam? Kenapa Alquran yang dipersoalkan?” 
“Susah banget mau jadi orang Islam. Kalau oleh konsep iman agama lain saya disebut kafir ya terima saja. Memang kenapa kalau kafir?,” kicau Fahri masih dalam cuitannya. 
Fahri menyebut, hal yang sudah tercatat dalam kitab suci tidak mungkin bisa diubah manusia. Bahkan seorang nabi pun tidak boleh melakukan itu.
“Justru kedewasaan berwarganegara dan toleransi itu ditentukan oleh kemampuan kita untuk mencerna perbedaan konsep dalam iman,” ujarnya. 
“Ini malah toleransi mau merasuk pada perubahan konsep iman. Lah apa hak kita mengubah konsep iman? Nabi aja gak boleh. Heran saya. Ini kan sederhana,” sambung Fahri. 
Lantas, Fahri pun menyindir tokoh Islam yang dinilai minder untuk mengenal konsep iman. “Semoga ke depan lahir generasi yang percaya diri dari pesantren dan sekolah-sekolah agama. Sehingga tegaklah agama dan tegaklah negara. Sebab kalau ulama minder maka negara kacau. Ini potret hari ini,” katanya.
“Harusnya warga negara didewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam. Toleransi pada perbedaan adalah syarat kewarganegaraan. Agama tidak perlu diamandemen sebab ia telah didisain untuk mengelola perbedaan. Kalau Tuhan mau, kita gak bakal beragam,” ucap Fahri menambahkan. 

Artikel ini ditulis oleh: