Pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP sendiri bukanlah hal baru, karena telah dirancang sejak era Presiden SBY. Pasal ini sendiri sudah dimasukkan dalam draft RKUHP sejak pertama kali diajukan pemerintah kepada DPR pada 11 Desember 2012 silam.

Jika ditarik lebih jauh lagi, pasal penghinaan Presiden merupakan sebuah warisan dari era kolonial, tepatnya dari kitab hukum pidana kolonial Hindia Belanda Wetboek van Straftrecth voor Nederlandsch India (WvS).

Pada masa kolonial, ketentuan yang disebut Lese majeste ini memang sengaja diberlakukan untuk membungkam aspirasi pribumi. Selain itu, juga terdapat Haatzaai Artikelen yang dapat diartikan pasal penghinaan terhadap pemerintahan.

Dalam KUHP, Lese Majeste ini terdapat pada pasal 134, 135, 136 dan 137. Sedangkan Haatzaai Artikelen diatur dalam KUHP pasal 154 dan 155.

Pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP sendiri telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam melalui keputusan nomor 013-022/PUU-IV/2006. Dalam keputusan tersebut, MK menilai pasal 134, 136 dan 137 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Menariknya, alasan yang sama juga digunakan oleh sejumlah politisi PDIP saat pemerintah mencantumkan pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP pada 2012 silam.

Pada Maret 2013, atau tiga bulan usai RKUHP masuk ke DPR, politisi PDIP Eva Sundari bahkan secara terang-terangan menolak pencantuman pasal penghinaan presiden dalam RKUHP.

“Karena itu sudah diputus dan ditolak MK, kok masih tetap dipaksain. Apakah itu bukan manuver yang sia-sia? Karena toh kalau di judicial review ya akan gagal lagi. Jadi ya hanya buang-buang waktu saja untuk membahas pasal yang diajukan kembali itu,” kata Eva saat itu.

Eva menjelaskan, jika pasal ini kembali dimasukkan dalam RKUHP, akan memunculkan politisi ‘penjilat’ dan menghidupkan kembali pola Asal Bapak Senang (ABS) seperti era Orde Baru dan era kolonial Belanda.

“Jadi kalau Presiden saat ini jadi sasaran dan caci-maki, ya itu risiko. Tapi bukan berarti ketika dia berkuasa dia tidak bisa dicaci-maki, yang bisa dicaci-maki hanya orang lain saja. Itu kan lucu,” tukas Eva.

Ironisnya, RKUHP justru dihidupkan lagi oleh Jokowi yang notabene adalah petugas partai banteng pada 2015, atau hanya 2 tahun setelah penolakan yang dilontarkan sejumlah politisi PDIP terhadap hal yang sama.

Kali ini, PDIP berbalik arah dan justru mendukung langkah pemerintah untuk mencantumkan pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto pun menegaskan dukungan partainya untuk menghidupkan kembali pasal ini.

Kontras dengan yang dilontarkan Eva pada 2013 lalu, Hasto menilak jika proses demokrasi di Indonesia saat ini sudah dalam tahap kebablasan lantaran sudah marak pelecehan terhadap Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan.

Hasto menambahkan, pasal penghinaan presiden sudah sesuai dengan budaya di Indonesia yang mengedepankan asas kekeluargaan. Baginya, budaya Indonesia yang ketimuran telah sesuai dalam menempatkan posisi pemimpin dalam masyarakat berada di kedudukan yang terhormat.

“Itu bagian dari kebudayaan kita, bukan hanya presiden, kepala desa, kepala RT pun kita hormati,” kata Hasto.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menganggap sikap PDIP sebagai inkonsistensi dalam berdemokrasi. Menurut Ray, sikap PDIP terkait pasal penghinaan presiden kali ini berbeda 180 derajat jika dibandingkan dengan saat menjadi oposisi pemerintahan SBY.

Ia menilai jika rencana mencantumkan pasal penghinaan presiden sangat mungkin dilatarbelakangi oleh motif politik, alih-alih karena kesadaran membangun etika dan sistem demokrasi yang sehat di tanah air.

“Ketika dia berkuasa, dia butuh poin ini. Dia dorong poin ini maju untuk melindungi kekuasan tentu saja. Tetapi ketika di oposisi, dia takut pada poin ini,” ucap Ray di Jakarta, 7 Februari 2018 lalu.

Dengan demikian, Ray menganggap jika hal ini hanya berkutat pada masalah kekuasaan saja.

“Kritik dari dulu sudah ada, tapi dari dulu yang enggak berubah itu adalah kesiapan pemimpin kita untuk menerima kritik. Itu yang belum ada,” tegasnya.

Ray menambahkan, sangat mungkin jika pasal penghinaan Presiden kembali dimunculkan lantaran maraknya kritik kepada pemerintah, entah itu Jokowi maupun PDIP, dalam beberapa tahun terakhir. Ia pun mengakui jika banyak dari kritik yang bernada hinaan dan hoax.

Hal demikian, jelasnya, memang tidak dapat dibiarkan begitu saja karena juga akan menghambat kemajuan demokrasi. Namun, ia menolak jika hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk kembali menghidupkan pasal penghinaan presiden.

“Itu enggak selesai dengan mengkriminalisasi, itu diselesaikan dengan pendidikan dan sosialisasi yang massive,” tegasnya.

Kondisi ini juga diperburuk dengan keengganan semua partai politik untuk saling bergandengan tangan untuk menghentikan hoax. Menurut Ray, semua partai politik justru mempraktikkan hal yang sama kepada saingannya dalam setiap kesempatan.

“Lebih dari itu, partai politiknya juga harus keluar dengan menolak, nah ini kan enggak ada,” ujarnya.

Hak Imunitas DPR

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby