Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa ‘diksi’ memiliki arti pilihan kata yag tepat dan selaras (dalam penggunaanya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga dipilih efek tertentu (seperti yang diharapkan). Sementara itu, arti kata ‘sensasi’, yang membuat perasaan terharu, yang merangsang emosi. 2, yang merusuhkan (menggemparkan); kegemparan; keonaran.

Konsultan Politik dari Lembaga Survei Kedai Kopi Hendri Satrio berpendapat bahwa dua narasi yang digunakan oleh Presiden Jokowi baik Game of Throne maupun Sontoloyo merupakan dua hal yang berbeda.

“Beda penjelasannya, antara Game of Thrones dengan pernyataan Sontoloyo,” kata Hendri saat dihubun gi aktual.com, di Jakarta, Rabu (31/10).

Ia menilai, penggunaan istinal serial film Game of Throne lebih pada sebatas perumpamaan atau analogi saja. Tujuannya, sambung dia, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.

“Klaau  Game of Thrones itu soal perumpamaannya saja, supaya pesan komunikasinya lebih dimengerti oleh audiens, dan tidak masala, walaupun banyak cerita-cerita lain yang sebetulnya asli Indonesia yang bisa digunakan, dan tetapikan akhirnya Pak Jokowi tercapai tujuannya mendapat tepukan tangan,”paparnya.

Sedangkan, frasa sontoloyo itu kan sudah diklarifikasi presiden jika pernyataan itu tidak disengaja. “Sudah mengakui bahwa dia kelepasan , karena memang emosi, dan kita mengerti karena Jokowi kan juga manusia dan dia sudah minta maaf , dan menurut saya bukan masalah lagi,” terang dia.

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa setiap pernyataan yang disampaikan politisi kepada publik, tentunya memiliki makna dan pesan politik .

“Tentunya, kalau kita melihat dan mencermati penggunaan bahasa Game of Thrones dan sontoloyo itu kan tentu memiliki makna dan pesan politik. Karena setiap isu yang dimainkan dan ditembakan ke publik tentunya ada makna yang disampaikan,” kata Pangi saat dihubungi aktual.com, di Jakarta, Rabu (31/10).

Menurut dia, baik itu disampaikan dari petahana maupun penantang. Diksi itu, sambung dia, kan kata apakah kemudian ini memunculkan polemik iya dan pasti, dan melahirkan sebuah sensasi tentunya. “Apakah kemudian ini ada korelasi pendakatan linier pada peningkatan elektabilitas? Belum tentu.  Tapi yang kemudian dibaca adalah sentiment ketika pernyataan atau narasi itu disampaikan positif atau negative, dari dua kata itu,” ujarnya.

Ia pun tidak merasa heran di tahun politik jelang pemilihan presiden 2019, kedua kubu saling membangun narasi dan imajinasinya dalam rangka memperoleh sintimen dari publik.

“Ya masing-masing sedang bermain di narasi , literasi dan konten2 seperti itu, bahasa diksi, frasa yang kadang-kadang itu propaganda kadang-kadang memunculkan polemik pro kontra atau terkadang sengaja dilakukan untuk menggeser isu lainnya, atau artian membangun bingkai lain,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang