Pasca kontroversi analogi mengenai film serial ‘Game of Thrones’ yang digunakan Presiden Jokowi. Tidak lama, presiden menggunakan kembali kata ‘Politisi Sontoloyo’ yang lagsung mengundang reaksi terutama dikalangan para politisi di DPR RI.

“Hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo,” begitu yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Pernyataan itu, saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018).

Pada awalnya, Jokowi bicara terkait program dana kelurahan yang mendapat banyak kritik dari sejumlah politisi kubu oposisi. Bahkan, Jokowi mengaku heran, program baru pemerintah dengan anggaran Rp 3 triliun itu justru dipermasalahkan sejumlah politisi.

Padahal, ia menilai dana kelurahan ini penting untuk membangun berbagai infrastruktur dan fasilitas di tiap kelurahan. Sebab, selama ini desa sudah mendapatkan dana desa, tetapi tidak ada dana untuk kelurahan yang ada di perkotaan. Jokowi pun menjawab keluhan para wali kota dengan meluncurkan dana kelurahan.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon misalnya. Ia menilai penggunaan kata “sontoloyo” itu tidak pantas dilontarkan seorang Kepala Negara.

“Saya kira itu kan istilah yang agak kasar,” kata Fadli, di Jakarta, (24/10).

Fadli pun menyayangkan karena sebutan sontoloyo itu diarahkan bagi para politisi yang mengkritik program dana kelurahan.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai, harusnya kritik terkait progam pemerintah cukup dijawab dengan penjelasan yang komprehensif oleh Presiden.

Tidak hanya itu, Fadli  mengaku mengkritik program dana kelurahan karena melihat program tersebut dimunculkan secara terburu-buru tanpa payung hukum yang jelas.

Diakui dia, setuju bahwa dana kelurahan ini diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, sebut dia, jika direncanakan dengan matang, harusnya pemerintah bisa membuat payung hukum terlebih dahulu. Apalagi, Presiden Jokowi mengakui bahwa usul dana kelurahan ini sudah disampaikan wali kota sejak tiga tahun lalu.

“Yang sontoloyo itu adalah orang yang tidak melaksanakan ini dengan baik. Yang tidak merencanakan dengan matang. Yang tidak memenuhi prosedur sesuai tata aturan yang ada. Itu lah yang sontoloyo,” ketus dia.

Tidak berselang lama, Presiden Jokowi pun langsung menjelaskan maksud dari penyebutan politisi sontoloyo yang sempat dikatakannya dulu.

“Jadi gini menjelang pemilu, ini banyak cara-cara yang tidak sehat yang digunakan oleh politisi,” kata Jokowi kepada wartawan usai menghadiri Trade Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Rabu (24/10/2018).

“Segala jurus dipakai untuk memperoleh simpati rakyat, tetapi yang enggak baik sering menyerang lawan politik dengan cara-cara yang tidak beradab juga, tidak ada tata kramanya,” tambah Jokowi.

Jokowi juga mengingatkan, saat ini bukan zamannya lagi menggunakan kampanye-kampanye politik adu domba, politik pecah belah, dan politik kebencian.

Menurut dia, kini adalah zamannya politik adu program, adu kontestasi, adu gagasan, adu ide, adu prestasi, dan adu rekam jejak.

“Kalau masih pakai cara-cara lama seperti itu, masih memakai politik kebencian, politk SARA, politik adu domba, politik pecah belah, itu namanya politik sontoloyo,” kata Jokowi.

Namun, saat menyebut banyak politisi sontoloyo kemarin, Jokowi sama sekali tidak menyinggung soal politisi yang menggunakan politik kebencian.

Awalnya, Jokowi justru menyinggung mengenai program dana kelurahan yang mendapat banyak kritik dari sejumlah politisi dari kubu oposisi. Jokowi heran dana kelurahan untuk rakyat justru dianggap dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2019.

Lantas, apa sebenarnya pengertian ‘sontoloyo’ itu?

Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata ‘sontoloyo’ mempunyai arti konyol, tidak beres, dan bodoh (dipakai sebagai kata makian).

Seperti diketahui, kata ‘sontoloyo’ memang kerap digunakan sebagai kata umpatan.

Maka tidak heran banyak pihak yang bereaksi saat Presiden Jokowi mengucapkan kata tersebut.

Namun, kata ‘sontoloyo’ awalnya bukanlah istilah yang digunakan untuk mengumpat. Melansir dari Tribun Jogja, ‘sontoloyo’ berasal dari bahasa Jawa.

Jauh sebelum dilontarkan Presiden Jokowi, Presiden Soekarno atau yang akrab disapa Bung Karno dulu sudah pernah menuliskan buku berjudul ‘Islam Sontoloyo’. Dalam buku itu Bung Karno itu menutur pendapatnya soal perilaku umat Islam pada masanya. Dikala itu, Bung Karno merasa banyak umat Islam masih terjebak dengan kejayaan masa lalu.

Kata sontoloyo tertulis dalam buku itu saat Sukarno menjelaskan soal kakunya cara pandang kelompok Islam tertentu dalam beragama. Kelompok tersebut disebut Sukarno sebagai Islam sontoloyo.

“Umat Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah. Kita lupa bahwa fiqh itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama Islam. Maka benarlah perkataan Halide Edib Hancum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini ‘bukan lagi pemimpin hidup, tetapi agama pakral-bambu’. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam Sontoloyo!” tulis Sukarno dalam salah satu bagian bukunya tersebut.

Selain itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan juga ikut mengomentari ucapan Presiden Jokowi yang mengatakan banyak politisi sontoloyo. Menurut dia, seharusnya Jokowi bisa menganggap kritikan sebagai vitamin.

“Kritik itu harus dianggap sebagai vitamin lah. Tidak perlu misalnya dianggap menjadi terus berseberangan sekali. Jadi saya kira dalam alam demokrasi yang terbuka kritik itu sangat baik,” kata Hinca.

Sementara itu,  Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Irma Suryani Chaniago, menilai pernyataan Presiden Jokowi soal politikus sontoloyo bentuk kegeramannya terkait kritik sejumlah oposisi. Jokowi melihat sejumlah politikus tak bisa membedakan mana kebijakan yang harus didukung dan perlu dikritisi.

“Kalau orang santun seperti Pak Presiden sudah bicara agak keras, itu pasti karena beliau sudah mulai muak nih dengan oknum-oknum yang tidak dapat membedakan mana kepentingan rakyat yang harus didukung bersama dan mana yang harus dikritisi dengan data,” kata politikus NasDem itu melalui pesan singkat, Rabu (24/10)

Diksi atau Sensasi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang