Aktual.com – Berita larangan menyebut Kafir kepada non muslim gempar setelah Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, yang ditutup Jumat (1/3) kemarin. 
Atas adanya permintaan NU tersebut, sekejap mendapat tanggapan beragam. Salah satunya datang dari Ketua PP Muhammadiyah Dr H Anwar Abbas MM MAg. Penjelasannya untuk memperkaya perspektif tentang istilah kafir itu sendiri. 
Berikut adalah pernyataan lengkap Sekjen MUI seperti dilansir dari laman PWNU.Co, Sabtu (2/3). 
Kapankah kita akan memakai kata kafir, kata penduduk, dan kata warga negara? Kalau kita bicara tentang Allah SWT maka yang tidak mempercayainya dalam khazanah Islam disebut dengan kafir.
Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam Alquran surat Almaidah ayat 17, yang artinya: “Sungguh telah kafir orang yang berkata bahwa Allah itu adalah Almasih ibnu Maryam.”
Jadi dengan demikian orang yang mempertuhankan Isa Almasih dan atau tidak mempertuhankan Allah SWT dalam sistim keyakinan Islam disebut kafir. Dan kita umat Islam tidak punya hak untuk mengganti sebutannya.
Tapi ketika kita bicara tentang negara maka semua orang yang tinggal di wilayah suatu negara kita sebut dengan penduduk dari negara yang bersangkutan.
Dan kalau yang menjadi penduduk itu adalah orang yang diakui secara hukum sebagai warga dari suatu negara itu maka dia disebut dengan warga negara. Untuk kasus Indonesia mereka yang diakui secara hukum sebagai warga dari negara Republik Indonesia disebut dengan warga negara Indonesia (WNI). 
Dan yang tidak diakui secara hukum sebagai warga negara Indonesia tapi tinggal di Indonesia mereka disebut dengan warga negara asing (WNA).
Oleh karena itu kata kafir tidak terkait dengan negara. Kata kafir terkait dengan masalah keimanan kepada Allah SWT. Kalau dia tidak beriman kepada Allah SWT maka dia di dalam Islam disebut kafir. 
Tapi kalau kita bicara tentang negara maka kosa kata yang harus kita pakai adalah penduduk atau warga negara bukan kata kafir atau tidak kafir.
Kalau kita akan menghubungkan juga dengan agama maka pilihan katanya adalah penduduk atau warga negara yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Atau orang biasa juga menyebut dengan istilah Islam dan non-Islam; Kristen dan non-Kristen, atau Katholik dan non-Katholik, Hindu dan non-Hindu, Budha dan non-Budha, Konghucu dan non-Konghucu.
Jadi kata non dalam hal ini dipakai untuk yang selain dari agama yang dimaksud. Kalau yang dimaksud Islam maka yang lainnya disebut non-Islam. Tapi kalau yang dimaksud Kristen maka yang lainnya disebut dengan non-Kristen. 
Begitulah seterusnya untuk memudahkan dalam pengucapannya. Demikian pemaparan Anwar Abbas. 
Sebelumnya, menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa. “Maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Karena itu yang ada adalah nonmuslim, bukan kafir,” ujarnya.
Lebih lanjut Said Aqil menjelaskan, mengenai istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah, jadi untuk menyebut orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar. 

Artikel ini ditulis oleh: