Jumat adalah hari besar bagi umat Islam. Pada hari Jumat malam pula, 3 Juni 2016, telah wafat seorang petinju besar kelas dunia, yang sering dijuluki sebagai “si mulut besar,” dan yang pernah menyebut dirinya sendiri sebagai “yang terbesar” (the Greatest). Dialah Muhammad Ali, yang nama aslinya sebelum masuk Islam adalah Cassius Marcellus Clay, Jr.

Gaya bicara sesumbar, yang sering bikin gemas lawan-lawannya –tetapi sangat disukai oleh wartawan, karena bagus buat kutipan berita– sudah menjadi ciri khas Ali. Namun, dalam perjalanan hidupnya kemudian, Ali meningkat kesadaran religiusnya. Dan sebagai pemeluk Islam yang taat, Ali akhirnya mengatakan dengan rendah hati, “Saya bukanlah yang terbesar. Yang terbesar hanyalah Allah.”

Petinju yang pukulannya sangat cepat dan menyengat ini lahir pada 17 Januari 1942 di Louisville, Kentucky, AS. Ia wafat pada usia 74 tahun di Rumah Sakit Phoenix, Arizona. Ali diakui sebagai salah satu tokoh olahraga yang paling penting dan terkenal dari abad ke-20. Dari awal kariernya, Ali adalah sosok inspiratif, kontroversial, dan berpengaruh, baik di dalam maupun di luar ring.

Ali mulai berlatih tinju pada usia 12 tahun. Di usia 22, ia mengalahkan Sonny Liston dan meraih juara tinju kelas berat dunia dalam pertarungan pada 1964. Tidak lama setelah itu, ia memeluk Islam dan mengubah nama “budak”nya (Cassius Clay) menjadi Muhammad Ali. Ali memberikan pesan kebanggaan ras untuk warga kulit hitam, serta memberi perlawanan terhadap dominasi warga kulit putih selama Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika tahun 1960-an.

Pada 1966, dua tahun setelah jadi juara tinju, Ali menolak ikut wajib militer dan menentang keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Ali kemudian diskors, dan gelar juaranya dicabut oleh Komisi Tinju. Ia berhasil mengajukan banding di Mahkamah Agung, yang membalikkan hukumannya pada 1971. Saat itu, ia tidak bisa bertarung sama sekali selama hampir empat tahun dan kehilangan kinerja puncaknya sebagai atlet tinju. Tindakan Ali sebagai penentang perang membuatnya menjadi ikon besar.

Ali tetap satu-satunya juara dunia tinju kelas berat sebanyak tiga kali. Ia memenangkan gelar tersebut pada 1964, 1974, dan 1978. Ia dijuluki sebagai “The Greatest.” Pada tahun 1999, Ali dianugerahi gelar “Sportsman of the Century” oleh Majalah Sports Illustrated.

Ali sudah beberapa kali menikah dan bercerai. Istri pertamanya, Sonji Roi, dinikahi pada 1964, namun lalu bercerai pada 1966. Istri keduanya, Belinda Boyd (menjadi Khalilah Ali setelah menikah), dinikahi pada 1967. Mereka memiliki tiga anak: Jamilah dan Rasheda (putri kembar) dan Muhammad Ali, Jr. Pada 1977, Ali dan Belinda resmi bercerai.

Pada tahun 1977 pula, Ali menikah dengan Veronica Porche Anderson (lebih dikenal sebagai Veronica Ali), dan memiliki dua putri: Hanna dan Laila Ali. Laila Ali sendiri kelak memutuskan jadi petinju wanita, dan menjadi juara dunia tinju wanita. Ali dan Veronica tetap menjadi pasangan suami istri sampai saat wafatnya.

Ali pertama kali berkunjung ke Indonesia pada 1973, setelah tahun sebelumnya 1972, menunaikan ibadah haji bersama beberapa tokoh Muslim-Amerika lainnya. Promotor Raden Sumantri mendatangkan Ali untuk bertarung melawan petinju kelas berat Belanda, Rudi Lubbers. Pertandingan di Stadion Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973 itu adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar, sehingga disebut pertandingan ekshibisi.

Waktu itu lapangan bola dan jalur lari Stadion Utama Senayan disulap jadi ring dan area pinggir ring dengan kapasitas 19 ribu penonton. Karcis yang dijual mulai dari harga Rp 6.000 sampai Rp 27 ribu pun habis ludes. Ali menang angka melawan Lubbers dalam pertandingan 12 ronde itu.

Dalam kesan-kesannya selama berkunjung ke Jakarta pada 1973, Ali memberi pernyataan, “A unique country, where the population is very friendly and always smile to anyone” (sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun).

Ali dikabarkan pernah berkunjung lagi ke Indonesia untuk kedua kalinya pada 1974. Saat itu ia sengaja datang dan melakukan ceramah di hadapan ratusan jamaah Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Namun, tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dari kunjungannya ini. Pihak Al-Azhar masih belum bisa dimintai informasi soal kunjungan ini.

Hanya disebutkan, Ali menyampaikan kebanggaannya akan agama Islam yang dia anut. Ali meminta seluruh jemaah untuk semakin percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Ali juga mengingatkan bahwa seluruh umat Muslim itu bersaudara. Usai ceramah, para jemaah menghadiahkannya sebuah kopiah dan baju batik, yang saat itu langsung dipakainya.

Setelah memutuskan pensiun dari dunia tinju pada 1981, Ali memilih berkeliling dunia memberikan bantuan kemanusiaan, menemani korban bencana, hingga membantu membebaskan tawanan. Saat Perang Teluk I meletus pada 1990, misalnya, Ali terbang ke Irak guna membujuk Presiden Saddam Hussein agar membebaskan warga AS yang ditawan Irak.

Ali tercatat telah membagikan 232 juta paket makanan di berbagai lokasi kelaparan dunia. Mulai dari tunawisma di New York, Afrika, sampai Kuba, yang diembargo oleh Amerika. “Kalau ada orang yang mau memberikan uang terakhir yang ada di dompetnya, dia adalah Muhammad Ali,” kata Howard Bingham, teman karib sekaligus penulis biografi Ali.

Pada Maret 2012, ia menggalang pemimpin komunitas muslim Amerika dan menyurati pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Ali Khamenei, agar membebaskan dua warga Amerika yang ditahan di Iran sejak 2009 karena dituduh sebagai mata-mata. “Tolong tunjukkan kepada dunia welas asih yang ada di hatimu,” kata Ali dalam surat itu. Lima bulan kemudian, dua warga AS itu dibebaskan.

University of Louisville juga memberi ruang khusus buat Ali. Universitas ini membuka program beasiswa Ali Scholars Program. Dalam program ini, selama dua tahun mahasiswa mendapat pelatihan tentang pencegahan kekerasan dan bagaimana mewujudkan keadilan sosial di perkotaan.

Sepak terjang Ali mendapat apresiasi dunia. Di antaranya, Duta Perdamaian PBB, yang ia terima dari Sekjen PBB Kofi Annan pada 1998. Lalu, Medal of Freedom, penghargaan sipil tertinggi Amerika Serikat, dari Presiden George W. Bush pada 2005. Ali juga masuk nominasi peraih Nobel Perdamaian 2007. Deretan penghargaan itu tersimpan di Ali Center, gedung seluas hampir 9.000 meter persegi dan setinggi enam lantai di jantung Louisville, Kentucky, kota kelahirannya.

Berdiri sejak 2005, Ali Center adalah hasil impian Ali. Selain menjadi tempat penyimpanan benda-benda kenangan selama karier tinjunya, gedung itu menampilkan 5.000 gambar karya anak dari 141 negara, yang berisi harapan dan mimpi mereka. Ali Center juga berperan sebagai pusat promosi agama. Jangan salah sangka, tempat ini tak hanya mempromosikan Islam, agama yang dianut pemiliknya. “Semua agama kami promosikan di sini,” ujar Jeani Kahnke, Wakil Presiden Komunikasi dan Marketing Ali Center.

Pemahaman Ali tentang agama adalah bersifat inklusif, teduh, sejuk, dan moderat. Warna yang menonjol dari pribadi Ali adalah rasa kemanusiaan yang kuat, tidak sempit. Ia membuat perumpamaan, “Kita semua memiliki Tuhan yang sama. Kita hanya melayaniNya secara berbeda. Sungai, danau, telaga, kali, lautan, semua itu memiliki nama yang berbeda. Namun mereka semua mengandung air.”

“Begitu juga agama. (Agama) memiliki nama-nama yang berbeda, dan mereka semua mengandung kebenaran, yang diekspresikan lewat cara, bentuk, dan waktu yang berbeda. Tidak jadi soal apakah Anda seorang Muslim, Kristen, atau Yahudi. Ketika Anda percaya pada Tuhan, Anda harus yakin bahwa semua orang adalah bagian dari satu keluarga. Jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak bisa hanya mencintai sebagian dari anak-anakNya,” tutur Ali. ***

Artikel ini ditulis oleh: