Melalui kesaksian yang dikisah seorang penghulu di Agam, Dr Emeraldy Chatra, berhasil merangkai sebuah bangunan cerita yang merupakan versi lain dari Kisah Perang Paderi yang selama ini kita ketahui.

Beberapa tulisan yang mengkaji i Perang Paderi, tertulis bahwa kisah ini diawali oleh sikap Tuanku Nan Renceh(guru Tuanku Imam Bonjol), yang memilih mengambil sikap kekerasan untuk memerangi kaum adat Minangkabau yang telah jauh dari syariat Islam.

Melalui tulisan ini kami sedikit meluruskan bahwa ternyata ada sebab yang melatarbelakangi mengapa  Tuanku Nan Renceh mengambil sikap kekerasan melawan kaum adat.

Berikut ini kami sampaikan kembali kisah Perang Paderi yang telah banyak dipolitisir oleh Kaum Kolonialis Belanda karena kepentingan kolonialisme mereka untuk memecah-belah antaranak bangsa, utamanya antar sesama umat Islam.

Adalah Dr Emeraldy Chatra, Pengajar di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Andalas, Sumatra Barat, mengangkat sebuah artikel bertajuk  “Perang Paderi versi Lokal,Sejarah Perang Candu.

Tentu saja ini sebuah perspektif dan bacaan sejarah yang menarik dan baru. Menurut Dr Chatra, istilah Perang Padri diciptakan oleh Prof Veth, seorang orientalis Belanda yang tidak pernah berkunjung ke Sumatera Barat. Ia hanya mengandalkan laporan-laporan pegawai dan tentara kolonial yang berada di medan perang.

Selanjutnya Chatra menuturkan, Padri itu julukan Prof Veth untuk kaum Islam di Minangkabau. Jelas ini pengistilahan yang sangat keliru, karena asal kata padri adalah “padre”(Spanyol) yang berarti pendeta. Kaum Islam di Minangkabau tentu bukan pendeta.

Dari prolog tulisan Chatra ini saja sudah menggugah rasa ingin tahu kita apa yang sesungguhnya terjadi sehingga kemudian muncul istilah Perang Padri. Mari simak lebih lanjut penuturan Chatrara.

Selama ini kita menjadikan cerita Veth sebagai rujukan tentang perang yang berkobar mulai 1809 sampai 1837 itu. Selain terdapat pengistilahan yang keliru, jalan cerita yang dikarang Veth juga amburadul.

Tidak banyak diketahui, sebenarnya ada versi lain yang diceritakan turun temurun oleh orang Minangkabau, khususnya kaum penghulu. Rupanya cerita versi lain yang didapat oleh Chatra   ini berasal dari penghulu di Agam.

Versi lokal tidak menyebut perang itu Perang Padri, tapi “Perang Candu”. Mengapa? Karena peperangan itu dipicu oleh maraknya peredaran candu (bahan memabukan yang dihisap bersama tembakau memakai cangklong panjang) di Minangkabau.

Tidak hanya candu yang marak. Seiring dengan peredaran candu, orang Minang – tentu saja kebanyakan penghisap candu – juga suka berjudi “sirambuang” , minum tuak, dan mengadu ayam. Perzinahan pun sudah menjadi hal biasa.

Demikian rusaknya masyarakat Minang akibat maksiat, sehingga Tuanku Nan Renceh (TNR), seorang ulama muda dari surau Naqsabandiyah di Kamang sangat murka. Ia memimpin sebuah pasukan kecil untuk memerangi peredaran candu dan maksiat-maksiat ikutannya di seputar Kamang.

Inisiatif memerangi candu itu murni dari TNR. Gurunya sendiri, Tuanku Nan Tuo di Canduang tidak sepakat melakukan tindakan kekerasan sebagaimana dilakukan muridnya.

Siapa di belakang peredaran candu dan berbagai praktik maksiat di Minangkabau? Candu diimpor oleh Belanda dari India dan didistribusikan oleh tiga orang tokoh adat yang berdomisili di Tanah Datar. Dalam istilah sekarang, merekalah bandar besar narkotika yang dipelihara oleh Belanda.

Soal nama ketiga orang ini bagi saya masih perlu diverifikasi, karena itu tidak akan saya sebutkan. Bisa ribut orang Minang.

Kaki tangan ketiga tokoh adat itu bertebaran di seluruh wilayah Minangkabau. Jadi tidak semua penghulu adat terlibat dalam urusan candu. Bahkan banyak yang melawan, tapi tidak berhasil karena gerombolan pengedar candu sangat kuat. Pembakaran pasar Pandai Sikek oleh Haji Miskin yang dipicu oleh candu-judi-tuak melibatkan seorang penghulu terkenal dari Tanah Datar.

Gerakan TNR lebih tepat disebut sebagai gerakan surau. Boleh jadi TNR terinspirasi oleh gerakan Wahhabi karena sejatinya kaum Naqsabandi tidak menyukai jalan kekerasan, tapi tidak ada bukti bahwa beliau benar-benar Wahhabi. Istilah Wahhabi yang dilekatkan kepada Perang Padri juga berasal dari Prof. Veth.

Menurut versi lokal, tidak benar gerakan surau memerangi candu diinisiasi oleh Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin (nama lain dari Haji Pamansiangan). Sewaktu mereka pulang ke Minangkabau mereka sudah menemukan banyak kerusuhan yang disebabkan oleh gerakan surau-nya TNR. Kemudian mereka bergabung dengan TNR, membuat gerakan surau menjadi masif.

Akibat terdesak oleh gerakan surau TNR, ketiga gembong candu memobilisasi kekuatan dan meminta pertolongan kepada Belanda. Belanda pun ikut campur urusan orang Minangkabau, melahirkan perang besar.

Perang inilah yang dikatakan secara keliru oleh Prof Veth sebagai perang Kaum Wahhabi melawan Kaum Adat. Tapi kita maklum, orang Belanda memang sering salah menulis, kadang disengaja untuk tujuan mengadu domba.

Campur tangan Belanda tidak menyurutkan semangat Kaum Surau. Perang makin sengit karena para penghulu adat yang anti-candu bergabung dengan Kaum Surau.

Bergabungnya penghulu adat inilah yang kemudian melahirkan perang orang Minang melawan Belanda. Tuanku Imam Bonjol adalah murid TNR yang paling terkenal.

Artikel kary Dr Emeraldy Chatra ini, kiranya merupakan temuan awal yang  cukup penting untuk studi-studi lanjutan yang lebih dalam. Utamanya terkait sejarah perlawanan rakyat Sumatra Barat semasa penjajahan Belanda.

Hendrajit dan Abubakar Bamuzaham.