“Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”.

(Bung Karno, Presiden RI Pertama, 1959)

Serangan militer AS dan sekutu baratnya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantilk Utara (NATO) Inggris dan Prancis, bukti nyata bahwa pola pendekatan soft power ala Arab Spring di Tunisia dan Mesir ketika menggulingkan Presiden Ben Ali dan Hosni Mubarak gagal total ketika ditrapkan di Suriah untuk menggulingkan Bashar al Assad.

 

Lebih parah dari itu, ketika pola Arab Spring dalam menggusur Mobarak dan Ben Ali melalui pola Perang Asimetris gagal. Pola perang saudara ala penggulingan Moammar Khadafi di Libya pun gagal total juga. Buktinya penyelesaian krisis Suriah yang sudah berlangsung sejak 2011 tetap berlarut hingga kini.

 

Sebagaimana bisa kita ketahui, ketika operasi politik menggusur Bashar al Assad melalui pola aksi massa seperti di Tunisia dan Mesir gagal total, maka AS dan dua sekutu baratnya Inggris dan Prancis, secara diam-diam membantu kelompok-kelompok bersenjata di Suriah seperti untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Assad maupun angkatan bersenjata Suriah. Adapun kelompok bersenjata yang difasilitasi oleh CIA baik bantuan senjata, pelatihan militer maupun dana, adalah Jabal al-Nusra dan ISIS. Kelompok-kelompok binaan AS dan NATO inilah yang sejak 2011 hingga kini memainkan peran sentral sebagai ujung tombak pemberontakan menggulingkan pemerintahan Bashar al Assad.

 

Maka, serangan militer secara terbuka yang dilancarkan terhadap Suriah oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu pada 14 April 2018 merupakan bukti keadaan (circumstance evidence) bahwa geostrategi Barat selama ini —semenjak 2011— melalui modus proxy war (perang perwalian), terbukti gagal. Sehingga sejak dimulainya perang terbuka antara AS-Sekutu versus Suriah yang tentunya juga dapat bantuan dari Iran, Rusia dan Cina, baik Jabal al Nusra maupun ISIS selesai sudah peran yang mereka mainkan.

 

Sejak serangan terbuka 14 April lalu, “Paran Tuan” ambilalih kendali komando atas skema perang terbuka di Suriah. Jadi, apa yang diperebutkan dan jadi sasaran strategis negara-negara adikuasa tersebut selama ini? M Arief Pranoto, DIrektur Geopolitik dan Program Studi Kawasan Global Future Institute, punya sebuah kerangka analisis yang menarik.

 

Arief Pranoto merujuk pada seoarang pakar geopolitik, Deep Stoad, Tesis Deep Stoad yang bisa dijadikan petunjuk adalah: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil” (Bila ingin memahami geopolitik, ikuti aliran minyak). Kenapa? Karena disitulah simpul-simpul para adidaya bertemu, bersinergi bahkan kerap beradu-kuat.

 

Itulah kontribusi strategis Stoad terhadap dunia geopolitik. Dan hingga kini, tesis tersebut belum ada antitesanya. Asumsi Henry Kissinger pun sifatnya menebalkan tesis Stoad, yaitu control oil and you control nation, control food and you control the people (kuasai minyak anda akan mengendalikan negara, kendalikan pangan anda akan menguasai rakyat). Inilah inti geoekonomi yang menjadi titik target geopolitik dimanapun, sampai kapanpun.

 

Lantas, ada apa di Suriah sehingga negara-negara besar demikian berjibaku dan berdarah-darah untuk menguasai negeri ini? Suriah, selain Mesir, Tunisia dan Yaman, sejatinya merupakan wilayah yang berada di lintasan jalur sutra (Silk Road). Jalur sutra ini merupakan rute perdagangan ekonomi maupun jalur militer dunia yang melegenda sejak abad ke-3.

 

Jalur sutra terbentang mulai dari perbatasan Cina dan Rusia hingga ke Maroko. The silk road, selain dinilai “jalur basah” bagi kaum kapitalis global karena melimpahnya hydro carbon terutama emas, minyak dan gas, ia juga dianggap jalur strategis dunia karena membentang di antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Siapa menguasai jalur tersebut maka berarti menguasai dunia.

 

Pada tataran inilah, Suriah jadi amat strategis buat negara-negara adikuasa blok Barat maupun blok Timur. Secara geostrategi atau geoposisi, Suriah berada di pertengaham simpul Jalur Sutra. Ke utara menuju Eropa, ke selatan menuju Afrika Utara. Dengan kata lain, menguasai Suriah berarti telah menguasai separuhnya. Separuh dari Jalur Sutra;

 

Masih ada lagi satu kartu truf Suriah yang jadi ajang perebutan antarnegara adikuasa. Yaitu geopolitik pipeline. Oleh sebab letak geografisnya di pertengahan simpul Jalur Sutra, Suriah dilalui banyak pipa minyak dan gas yang sifatnya lintas negara bahkan antarbenua. Setiap hari, berapa juta barel dari berbagai negara menuju negara lain yang melintasi Syria? Menurut salah satu sumber Global Future Institute di Jakarta, pemerintah Suriah mengutip sekitar $ 5/barel. “Uang jago” atau fee. Berapa juta barel setiap harinya melintas Suriah? Dan boleh jadi, APBN Suriah selama ini barangkali didominasi dari kontribusi sektor fee pipanisasi itu.

 

Sekarang mari kita buka kembali beberapa dokumen hasil diskusi Global Future Institute dan Grup Kepentingan Nasional NKRI (KENARI) beberapa waktu lalu. Menurut Dr Dirgo D Purbo, motor penggerak grup Kenari, bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow.

 

Singkat kata, konflik hanya untuk melindungi aliran minyak (dan gas). Hal ini sejalan dengan asumsi yang dibangun oleh Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, “Bahwa mapping konflik dari model kolonisasi yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan segaris/satu rute bahkan pararel dengan jalur SDA terutama bagi wilayah yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam.”

Adapun menyangkut geopolitik pipeline Suriah, Dirgo menilai bahwa meski ada fee $ 5/barel untuk aliran minyak pada pipanisasi, akan tetapi fee tadi tidak dinikmati oleh Syria sendiri. Kenapa? Karena outlet pipanisasi yang ke Afrika Utara berada di Israel dan outlet jalur pipa ke Eropa ada di Ceyhan, Turki. Artinya ada sharing ketiganya.

 

Dengan konstelasi yang demikian, menarik membaca berbagai teori yang mendorong AS dan Sekutu melancarkan serangan militer ke Suriah. Beberapa analisa mengatakan bahwa kronologi acaranya mirip Taliban yang disingkirkan karena menuntut terlalu banyak atas pipanisasi Unocal di Afghanistan. Maka simpulan sementara adalah, bahwa sepertinya Bashar al Assad hendak disamakan “nasib”-nya dengan Taliban yang harus dilenyapkan karena bandel, dan Assad dianggap rezim yang tidak mau didekte oleh Barat.

Namun ada satu teori lagi, dan ini rasanya yang paling pas. Bahwa AS dan negara-negara Eropa Barat, sedang mengalami kebangkrutan kapitalisme.

 

Ada analogi yang bisa dijadikan indikasi guna memaknai serangan militer Barat ke Suriah, yaitu tatkala AS diterjang krisis akut (great depression) dekade 1930-an tempo dulu maka ketika diletuskan Perang Dunia ke-2, ekonomi Paman Sam kembali pulih. Hipotesanya adalah, apakah serangan militer Barat ke Suriah merupakan indikasi bahwa sesungguhnya AS tengah dirundung krisis ekonomi teramat akut?

Mengakhiri catatan ini, mari kita renungkan kembali tesis  Bung Karno (1959), “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”.

Hendrajit, redaktur senior.