Mustimya, spirit marhaen ditujukan unruk menguasai alat-alat produksi, bukan untuk mengabadikan kemiskinan yang direpresentasikan petani, buruh, kuli, dan lain-lain

Dalam acara open house Presiden Jokowi di istana Bogor di hari lebaran pertama,  ada saja kejadian yang aneh-aneh. Namun yang layak jadi sorotan kali ini adalah ketika para petani yang oleh para kader PDIP kerap dicitrakan sebagai kaum Marhaen, ramai-ramai bertandang ke istana untuk bersalaman dengan Presiden.  Sampai di sini sah-sah saja. Namun ketika bersalaman dengan presiden di depan foto bung Karno. Maka masalah jadi lain cerita. Sebab ketika itu publik yakin dan oecaya bahwa pemerintah mau mencitrakan diri sebagai pendukung kaum Marhaen. Tapi yang terjadi malah justru pendangkalan makna marhaen dan marhaenisme itu sendiri.

Dalam visi misinya. Sebagaimana kerap diutarakan Bung Karno baik pada masa perjuangan melawan kolonialisme Belanda maupun setelah menjadi Presiden Pertama RI. Kaum marhaen itu bukan saja petani. Tapi juga buruh dan nelayan. Bahkan juga para dokter. Perawat sampai ke arsitek. Ahli IT sampai penerbit buku. Mulai dari tukang sate sampai ke pengacara dan kaum profesional yang berkeahlian di berbagai bidang.

Marhaen sejatinya adalah orang orang yang mana keahlian yang dikuasainya bukan sekadar menjadikannya sebagai alat produksi. Melainkan sebagai pemilik alat produksi.

Hanya saja karena sistem kolonialisme dan kapitalisme telah melumpuhkan kaum marhaen. Sehingga modalitas yang dimilikunya tak bisa meluas dan mengemvang sebagai kekuatan yang mandiri dan merdeka. Di sinilah makna dan konteks mengapa kita harus berdikari di bidang ekonomi seperti dikumandangkan melalui TRISAKTI.

Jadi dalam spiritnya marhaenisne justru harus melawan usaha untuk melestarikan kemiskuban dan ketidakberdayaan. Spirit Marhaenisme adalah agar kaum marhaen memerangi nasib dan ketidakberdayaannya saat ini agar b isa maju dna berkembang. Bukan saja secara ekonomi, melainkan juga harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang tentunya di sini bukan sekadar hal-hal yang bersifat material tapi juga immaterial atau bahkan spiritual.

Justru inilah pokok soal dari kunjungan para petani ke istaba Bagi kami bukan soal petani ke istana bawa caping yang memang selama ini memang atribut yang melekat pada kaum tani kita. Dan bukan juga karena  ke istana pakai celana pendek dan sandal. Bukan.

Ada yang jauh lebih meresahkan dari cara kostum diperagakan di istana. Entah itu ide siapa. Terkesan bahwa pemerintah berniat melestarikan kemiskinan dan ketidajberdayaan dengan membelokkan makna sejati dari Marhaenisme dan kaum marhaen.  Sehingga hal itu sama sekali bukan spirit dan etos kejuangan Marhaenisme dan kaum marhanen. Bahkan Marhaenisme justru sedang dilumpuhkan melalui cara cara NIRMILITER.

Hendrajit, redaktur senior.