Selain itu, narasumber dari Lemhanas Laksamana Muda Mangindaan juga menyinggung satu isu yang cukup menarik. Betapa besarnya campurtangan kepentingan bisnis the Military Industry Complex (Kompleks Industri Militer) dalam menentukan arah kebijakan strategis pertahanan dari negara-negara adikuasa yang saling bertarung dalam Perang Dingin (1950-1989).

Menurut Mangindaan, di baliknya menajamnya perlombaan senjata nuklir sejak era Perang Dingin, korporasi-korporasi industri pertahanan strategis telah mengendalikan rejim persenjataan baik konvensional maupun nuklir. Jadi pada kenyataannya bisa dibilang, konsensus mulai dari NPT, SALT hingga INF hanya semata manuver bisnis Negara-negara maju atau adikuasa.

Pandangan dan analisis Laksamana Mangindaan, semakin diperkuat oleh beberapa kajian Global Future Institute sebelumnya. Misalnya, Michel Chossudovsky dalam bukunya bertajuk Toward a World War III Scenario; The Danger of Nuclear War, menggambarkan adanya kepentingan-kepentingan korporasi yang sangat kuat di balik program pengembangan energi nuklir maupun persenjataan nuklir. Bahkan keduanya saling tumpang-tindih satu sama lain.

Beberapa produsen senjata AS mendapatkan tender kontrak pengadaan berbagai persenjataan strategis miliaran dolar AS dari Kementerian Pertahanan (Pentagon).

Dengan demikian, program peningkatan dan pengembangan nuklir AS di luar skema perjanjian INF nampaknya juga bertautan dengan beberpaa kontraktor pertahanan. Terkait dengan hal tersebut, nampaknya beberapa pejabat tinggi yang merupakan pemain kunci di era kepresidenan George W Bush yang kerap disebut kaum Neokonservatif, saat ini juga memainkan peran yang cukup penting dan strategis di balik keputusan Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian INF pada 1987.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada 2001 lalu, berdasarkan tinjauan posisi nuklir Pentagon atau Pentagon’s 2001 Nuclear Posture Review-NPR, merencanakan apa yang kemudian disebut ‘rencana darurat” untuk “penggunaan serangan pertama” secara ofensif dengan menggunakan senjata nuklir, bukan hanya terhadap negara-negara yang disebut oleh George W Bush sebagai the evil forces/poros kejahatan (Iran dan Korea Utara), melainkan juga terhadap Rusia dan China.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin