Ketiga, semakin agresifnya AS mendukung dan memfasilitasi negara-negara Asia yang termasuk sekutu strategisnya, peningkatan dan pengembangan senjata nuklirnya. Seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan.

Pada saat yang sama, dirilisnya the US National Security Document pada akhir 2016 lalu, yang mana pemerintahan Presiden Donald Trump menetapkan China, Rusia, Iran dan Korea Utara sebagai musuh utama dalam persaingan global saat ini, kiranya juga harus menjadi fokus perhatian Indonesia dan negara-negara di kawasa Asia Tenggara (ASEAN).

Aspek lain yang mengemuka dalam forum seminar terbatas tersebut, yaitu adanya campur-tangan kepentingan bisnis yang ditengarai akan semakin memainkan pengaruh besar dalam memicu meningkatnya perlombaan senjata nuklir di berbagai kawasan, tak terkecuali di Asia Tenggara.

Dalam konteks inilah, Laksaman Muda Robert Mangindaan, dari Lemhanas, merasa perlu mengingatkan bahwa politik luar negeri AS lewat Indo Pacific merupakan manuver membangun aliansi keamanan. Tapi secara tersirat adalah membendung kekuatan Tiongkok dengan Belt and Road Initiatives-nya (BRI).

Lebih lanjut Laksamana Muda Mangindaan menginformasikan, bahwa AS dalam upaya membangun kekuatan senjata nuklirnya pada tingkatan maksimum, telah mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar 5,2 triliun dolar AS. Untuk memodernisasi tiga perangkat: peluncur, pengendali dan hulu ledak.

Menyadari kenyataan tersebut, para narasumber maupun peserta aktif sampai pada sebuah pandangan bahwa dengan berakhirnya Perjanjian INF menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Donald Trump pada awal Februari lalu, nampaknya AS bermaksud untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif, serta bermaksud untuk mengondisikan kembali perlombaan senjata nuklir seperti di era Perang Dingin. Sehingga tidak menghargai sama sekali negara-negara lain baik di kawasan Asia Pasifik maupun di kawasan Eropa yang notabene sebagian besar merupakan negara-negara sekutu AS.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin