Ketika saat ini Undang-Undang Dasar 1945 hasil empat kali amandemen mulai didesak banyak kalangan untuk dikaji ulang, maka UUD 1945 asli yang dinyatakan sebagai sumber hukum tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai mencuat kembali sebagai wacana publik. Maka, Prof Dr Supomo, sosok kunci perumusan UUD 1945 asli tersebut kiranya perlu kita tampilkan kembali reputasi dan rekam jejaknya.

 

Dalam masa-masa genting jelang Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Bung Karno, yang kelak menjadi Presiden pertama RI, mengetuai sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang beranggotakan 18 orang. Mengingat waktu yang begitu mendesak, Prof Dr Supomo diminta menjadi Ketua Panitia Kecil  menyusun rancangan konstitusi.

 

Panitia Kecil yang dibentuk pada 11 Juli 1945 itu, dipimpin oleh Supomo dengan didampingi oleh Mr Wongsonegara, Achmad Subarjo, AA Maramis, RP Singgih, Sukiman Wiryosenjoyo, dan Haji Agus Salim.

 

Ternyata Supomo dan kawan-kawannya dari Panitia Kecil penyusun rancangan konstitusi, berhasil menyelesaikan tugas sesuai tengat waktu, 13 Agustus 1945. Yang mana Supmo menyerahkan rancangan tersebut kepada Bung Karno, dan sehari kemudian, Bung Karno menyerahkan nya kepada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk dibahas.

 

Singkat cerita, setelah melalui pembahasan dan perdebatan yang cukup intensif, akhirnya pada 18 Agustus 1945 BPUPKI yang kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan rancangan Undang-Undang Dasar yang dibuat Supomo dan kawan-kawan tersebut, menjadi konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Inilah jasa besar Supomo harus tetap dalam ingatan bersama bangsa Indonesia. Betapa yang kelak orang mengenalnya sebagai UUD 1945, bermula dari draf konstitusi negara yang disusun oleh Supomo, yang kala itu berusia 42  tahun, lulusan Fakultas Hukum Leiden, belanda, dengan predikat summa cum laude.

 

P Swantoro, wartawan senior harian Kompas, dalam bukunya bertajuk Masa Lalu Selalu Aktual, menggambarkan peran kesejarahan Supomo seperti James Madison ketika menyusun rancangan konstitusi Amerika Serikat.

 

Menarik untuk kilas balik mengenai bagaimana peran Majelis Persmusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dirumuskan oleh Supomo dalam draf konstitusi yang kelak kita kenal sebagai UUD 1945 tersebut. Dalam kerangka pikir Supomo, di dalam MPR , seluruh rakyat betul-betul harus mempunyai wakilnya karena lembaga ini sejatinya merupakan penjelmaan seluruh rakyat, yang menjadi pemegan kedaulatan atas Negara Republik Indonesia.

 

Maka itu MPR kemudian ditegaskan mempunyai Kekuasaan tertinggi dalam negara, sehingga lembaga itulah yang menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Agar  bangsa kita selalu ingat dinamika, kehidupan dan tumbuh-kembangnya masyarakat.

 

Sayangnya, MPR yang berlalu sekarang sudah berubah watak menjadi sekadar forum bersama antara DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sesuai skema UUD 1945 hasil amandemen. Yang notabene sudah berubah menjadi UUD 2002 alias UUD 1945 palsu.

 

Entah apa yang ada di benak Supomi jika beliau masih hidup. Sebagai pahlawan nasional dan arsitek UUD 1945, Supomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 22 Januari 1902. Passion atau hasrat sejati Supomo memang dalam bidang hukum. Hingga akhir hayatnya, Supomo ikut serta dalam pembentukan sistem hukum nasional.

 

Kalau melihat asal usul keluarganya, watak teknokratis Supomo memang terwarisi  baik dari orang tuanya maupun kakeknya.  Kakeknya dari pihak ayah adalah Raden Tumenggung Reksowardono, Bupati Anom Sukoharjo kala itu. Sedangkan kakek dari pihak ibu adalah Raden Tumenggung Wirjodiprodjo, Bupati Nayak Sragen.

 

Jelas sudah, karakter Supomo yang terbangun kemudian, merupakan kombinasi dari profil seorang birokrat yang cakap serta watak keilmuan yang bersifat teknokratis dan aplikatif seperti tergambar melalui penguasaan ilmu hukumnya yang begitu mendalam dan penuh penghayatan. Pada 1927, Soepomo resmi menyandang gelar Doktor dengan disertasinya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta). Dalam disertasi tersebut, Soepomo mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta dan menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta secara tajam, namun dengan bahasa yang halus dan tidak langsung.

 

Tak heran, penguasaannya secara metodis bidang hukum, membuat dirinya sangat terlatih dan berpengalaman ketika BPUPKI mengamanatkan dirinya untuk mengetuai Panitia Kecil Perancang Konstitusi. Meskipun kajian disertasi doktornya adalah bidang hukum agraria, namun pemahamannya terhadap seluk-beluk hukum kolonial, membuat dirinya dengan mudah mengubah keangka hukum kolonial ke arah rangka hukum nasional secara cepat dan sistematis.

 

Jauh-jauh hari sebelum Sidang BPUPKI dan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang dipimpin Bung Karno mengamanatkan dirinya sebagai arsitek konstitusi negara, sebenarya Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mengajukan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang terdiri dari:

(1) Persatuan

(2) Kekeluargaan

(3) Keseimbangan lahir-batin

(4) Musyawarah

(5) Keadilan sosial

Dengan demikian, sewaktu diberi amanat menjadi Ketua Panitia Kecil, Supomo sudah punya kerangka pemikirannya sendiri menganai poin-poin dan garis besar kerangka pemikiran mengenai apa saja yang harus dituangkan dan dirumuskan menjadi konstitusi negqara.

 

Sehingga bukan sebuah kebetulan belaka ketika Bung Karno dan 18 anggota Panitia Perancang konstitusi meminta dirinya menjadi Ketua Panitia Kecil perumus draf konstitusi negara. Dengan makna lain, Bung Karno dan para founding fathers lainnya memang sudah punya gambaran jelas mengenai reputasi terpuji Supomo sebagai pakar hukum, terutama hukum adat, Dan rekam jejak kiprahnya. Apalagi yang sudah menelisik rekam jejaknya sejak menjadi pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.

 

Reputasi gemilangnya sebagai pakar ilmu hukum membawanya terpilih sebagai Rektor Universitas Indonesia antara 1951-1954, dan Menteri Kehakiman. Kedua jabatan terhormat itu beliau pegang pada era pemerintahan Bung Karno.

 

Sayang sekali, Supomo yang kelak dikenal sebagai penggas negara integralistik, di mata para pakar hukum dan politisi yang berhaluan liberal dan memandang UUD 1945 asli sebagai payung hukum bagi diberlakukannya pemerintahan otoriter, wafat pada 12 September 1958. Dalam usia 55 tahun. Usia yang sesungguhnya belum lah dianggap terlalu tua, dan masih produktif. Apa  boleh buat, ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa, menghendaki lain.

 

Bisa jadi, di usianya yang pendek namun produktif dan legendaries itulah, Supomo bukan saja dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 1965. Namun juga dikenang sebagai Arsitek UUD 1945 asli.

 

Agaknya, pandangan kritis dan sinis kalangan neoliberal sejak era Orde Baru yang memandang Supomo sebagai arsitek terbentuknya negara totaliter, saat ini harus ditinjau kembali.

 

Dorongan kuat berbagai komponen bangsa untuk kembali ke Jatidiri, bukan saja mendorong kita kembali menengok Pancasila dan UUD 1945. Namun kiranya perlu membaca ulang karya-karya hukum Prof Dr Supomo.

 

Hendrajit, Rekdatur Senior.