Respon Kemenkeu

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti mengungkapkan pihaknya selalu memperhatikan CDS dan Indeks kerentanan sebagai sebuah instrumen keuangan.

CDS (Credit Default Swap) menunjukkan pandangan pasar keuangan terhadap risiko kredit suatu entitas, yang terbagi dalam jangka waktu (tenor) tertentu. Makin tinggi CDS, makin tinggi risiko kredit entitas tersebut, yang berpotensi pada gagal bayar (default). Sejak awal tahun 2018 hingga 11 Juli 2018, CDS Indonesia untuk tenor 10 tahun telah meningkat 57 bps menjadi 211,16 bps. Sementara itu untuk tenor 5 tahun meningkat 41,52 bps menjadi 126,52 bps. Kondisi CDS tenor 10 tahun saat ini masih lebih rendah dibandingkan kondisi di akhir tahun 2016 sebesar 225,33 bps, demikian juga untuk CDS tenor 5 tahun di akhir tahun 2016 sebesar 157,55 bps. Perubahan kondisi CDS Indonesia selama tahun ini masih dalam batas aman.

Jika dibandingkan dengan saat krisis keuangan global tahun 2008, CDS Indonesia tertinggi mencapai 1295 bps untuk tenor 10 tahun dan 1256,7 bps untuk tenor 5 tahun. Kemudian jika dibandingkan lagi dengan negara peers lain, kondisi CDS tenor 10 tahun Indonesia saat ini (data 11 Juli 2018) juga masih relatif lebih baik, seperti misalnya Turki (397,92 bps), Brazil (356,53 bps), dan Vietnam (227,53 bps).

Pemerintah senantiasa memantau pergerakan CDS karena erat kaitannya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN). Dalam kondisi saat ini, dimana investor dan pelaku pasar masih wait and see atas perubahan kondisi perekonomian yang menuju keseimbangan baru, perilaku pelaku pasar cenderung mixed. Dalam jangka waktu seminggu terakhir ini, CDS Indonesia malah menunjukkan penurunan, masing-masing 6 bps dan 11 bps untuk tenor 5 dan 10 tahun, seiring dengan mulai menurunnya yield SBN kita. Sebagai informasi kepada Pak RR, Indonesia juga tidak pernah default dalam melakukan pembayaran utang.

Yang kedua, tentang External Vulnerability Indicator (EVI) yang juga disampaikan Pak RR. EVI merupakan indikator yang menunjukkan kerentanan suatu negara ditinjau dari rasio utang luar negeri jangka pendek, utang luar negeri jangka panjang yang akan jatuh tempo dan deposito asing selama setahun terhadap cadangan devisa. Indikator ini dikeluarkan setahun sekali.

Prediksi indikator untuk tahun 2018 yang dipublikasikan oleh lembaga rating Moody’s berdasarkan wawancaranya di Bloomberg menyebutkan bahwa EVI Indonesia untuk tahun 2018 berada pada 51,3%, sementara India 74,2% dan Malaysia 145,6%. Jika dibilang Indonesia nomor 2 terburuk, mungkin Pak RR salah membaca artikel Bloomberg tersebut, yang memang tidak menyebutkan semua negara (terutama di Asia) secara utuh.

Kondisi EVI Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini berkisar antara 50,9% (2003) hingga 71,1% (2010). Sebagai gambaran, EVI Indonesia tiga tahun terakhir adalah tahun 61,7% (2014), 58,8% (2015), 52,5% (2016), dan 50,3% (2017). Dapat dilihat bahwa terjadi penurunan dalam tiga tahun terakhir, mencerminkan kondisi Indonesia yang masih cukup aman. Pemerintah tidak hanya memantau angka EVI secara agregat, namun juga komponen-komponen penyusun indikator tersebut dan indikator-indikator terkait lainnya, seperti refinancing risk dan currency risk utang pemerintah.

Terkait perlemahan Rupiah sebesar Rp100 terhadap USD akan berdampak surplus sekitar Rp1,7 triliun, Menkeu menjelaskan dalam APBN 2018, bila parameter penghitungan lain di dalam APBN tidak berubah (ceteris paribus), maka setiap perlemahan Rupiah sebesar Rp 100 terhadap USD akan berdampak surplus sekitar Rp1,7 triliun. Sedangkan setiap kenaikan harga minyak diatas asumsi, juga akan menambah penerimaan negara dari migas baik dalam bentuk pajak maupun non pajak. Perubahan tersebut hanya di dalam postur APBN, tentunya perubahan kedua variabel yaitu mata uang dan harga minyak mempengaruhi perekonomian secara luas.

“Penjelasan Menkeu SMI di DPR adalah dalam konteks APBN 2018 (karena agenda pembahasan rapat kerja memang mengenai outlook APBN 2018), yaitu penjelasan mengenai sensitivitas asumsi makro nilai tukar dan harga minyak terhadap APBN. Depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak akan berkontribusi terhadap penerimaan negara baik dari migas maupun penerimaan non pajak. Depresiasi juga menambah belanja dalam bentuk subsidi BBM, listrik dan belanja pembayaran kewajiban yang menggunakan mata uang asing,” jelasnya.

Apabila parameter lain seperti volume subsidi dan produksi minyak tidak berubah – (ceteris paribus) maka kenaikan pendapatan negara akibat kenaikan harga minyak dan depresiasi rupiah adalah lebih tinggi dari kebutuhan belanja yang berhubungan dengan minyak dan nilai tukar.

“Dalam penjelasan Menkeu di komisi XI DPR RI sama sekali tidak ada nada maupun isi penjelasan Menkeu baik implisit maupun eksplisit yang menyatakan bahwa pemerintah (Menkeu) senang dan menikmati pelemahan nilai rupiah,” jelasnya.

Selanjutnya, Twin Defisit, Stop Proyek Infrastruktur Berbahan Impor

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka