Kampanye Pemilihan Presiden 2019 diwarnai dinamika politik dari dua kubu yang bersaing. Calon presiden nomor urut 02 terbaru melontarkan ucapan tampang Boyolali yang menjadi perdebatan dan berujung laporan ke polisi.

Pakar komunikasi politik Effendi Gazali menyebut, persoalan tampang Boyolali sebenarnya harus dilihat sesuai konteks. Namun, dia menyayangkan karena saat ini, langsung dilaporkan ke polisi.

“Setiap ujaran dalam lantunan komunikasi itu tidak bisa dipisahkan dengan konteks, ini kan konteksnya becanda,” kata Effendi dalam siaran tv nasional yang dikutip redaksi.

Effendi menjelaskan, harusnya pihak yang melaporkan juga menjelaskan standar tampang Boyolali itu. Memang terpelesetnya perkataan Prabowo akan lain cerita ketika di bawa ke luar konteks.

“Yang melapor harus menyampaikan standar tampang Boyolali itu seperti apa. Tiba-tiba di bawa lari ke luar konteks itu akan lain ceritanya,” kata dia.

Polemik tampang Boyolali mencuat saat Prabowo kampanye di salah satu daerah di Jawa Tengah. Prabowo pun dilaporkan ke polisi ini karena dinilai melecehkan masyarakat Boyolali.

Begitu juga Jokowi, sejak awal, tak sedikit yang menilai bahwa statemen dia ini dianggap tidak pantas karena kata sontoloyo memiliki konteks dan makna yang kurang elegan.

Secara linguistik, kata Fathorrahman Hasbul peneliti new media dan komunikasi politik, yang saat ini menempuh Magister Ilmu Komunikasi UGM menyebut, sontoloyo bisa bermakna konyol, tidak beres, bodoh dan lain sebagainya.

Kata dia, penyebutan sontoloyo dianggap sebagai perkataan decrease yang tak selevel dengan status presiden yang merepresentasikan seorang kepala negara.

Perbedaan penilaian yang muncul dari aktor-aktor politik tersebut tentu saja sah, sebab meminjam istilah Dan Sperber (1995), komunikasi politik dan berbagai manuver di dalamnya selalu memiliki konteks dan relevansinya sendiri. Namun, perlu dicatat bahwa statemen “politikus sontoloyo” yang dilontarkan oleh Presiden Jokowi tidak lahir dari sebuah rangkaian kata yang terputus. Bobot komunikasi Presiden sejatinya memuat pesan khusus.

Dalam statemen, Presiden hanya mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati. “Hati-hati, banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo!” Secara sederhana ada dua konteks untuk menjelaskan kalimat ini. Pertama, bahwa Presiden seperti hendak menanamkan literasi politik, mengingatkan masyarakat untuk tidak terjebak pada jurus kebohongan-kebohongan para politikus.

Paradoks kebohongan politikus yang kerapkali dengan mudah dijumpai hari ini telah menciptakan defisit akal sehat, perpecahan, bahkan melahirkan arus deras kebencian yang tak berkesudahan. Sebab statemen dan perilaku politikus adalah pendulum politik yang kerapkali mudah menyulut keretakan dan persoalan sejenis di tingkat akar.

Sehingga peringatan tersebut justru memiliki posisi tawar yang pas, mengingat hari ini politik kita mengalami turbulensi karena ulah beberapa politikus yang gampang mengumbar janji nirbukti, giat mengkhianati aspirasi, dan getol memproduksi rasa benci.

Kedua, lanjut dia, dalam kalimat tersebut sesungguhnya sudah tegas bahwa ada politikus yang baik. Penekanannya pada kata “banyak politikus yang baik” merupakan statemen universal yang menandai peristiwa politik di Indonesia pada umumnya, di mana masih banyak harapan baik, masih banyak cahaya keperakan di tengah gelapnya mendung.

Dengan banyaknya politikus yang baik, kata dia, Jokowi seperti hendak memperlihatkan bahwa harapan untuk mewujudkan iklim politik yang bermartabat masih cukup terbuka lebar.

Oleh karenanya di akhir pidatonya presiden menutup sebuah pesan kepada masyarakat untuk memilih politikus yang baik. Artinya, masyarakat perlu membuka hati pada politikus yang memang baik dan memiliki rekam jejak yang jelas terkait peran, upaya, dan pengabdiannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Apapun itu, yang jelas statemen tersebut memberikan kesan penguatan terhadap masyarakat untuk berhati-hati memilih politikus di tahun-tahun politik. Kegaduhan soal sontoloyo tampaknya wajar mengingat arus deras politik dapat dengan mudah menelan seseorang ke dalam statemen politis yang miskin nilai, miskin analisis, dan miskin tutur kata yang arif.

Taklid politik telah membuat jalan setapaknya sendiri. Semuanya menjadi satu suara, satu kanal, satu orientasi dalam layar-layar politik yang sama. Di satu sisi, ini baik sebagai sebuah solidaritas teamwork, tetapi menjadi buruk jika praktik dan perilaku menyimpang dalam politik kemudian diaminkan dengan khusyuk secara bersama-sama. Jika ini yang terjadi, maka adakah kata yang lebih pantas untuk mereka daripada sekadar kata sontoloyo? (Wisnu)