“Makanya saya sampaikan, politikus sontoloyo, ya itu, jengkel saya,” dia meambahkan.

Selama ini, dia mengklaim telah menahan diri untuk tak mengeluarkan pernyataan seperti itu. Akan tetapi, menurut dia, berlangsung cara-cara politik kotor hanya demi meraih kekuasaan baik di tingkat kota, kabupaten, provinsi, bahkan perebutan kursi presiden.

“Saya itu enggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena saya itu sudah jengkel, keluarlah itu (sontoloyo). Saya tuh biasanya bisa ngerem. Tapi sudah jengkel, ya gimana,” lanjut Jokowi.

Begitu juga apa yang disampaikan oleh Prabowo Subianto dengan kata Tampang Boyolali. Pernyataan itu langsung riuh seperti bola api yang tengah dimainkan.
Sebelum menjadi lebih riuh, klarifikasi juga disampaikan oleh kubu Prabowo. Tetapi, klarifikasi itu tidak disampaikan langsung oleh Prabowo. Tetapi melalui Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional ( BPN) Prabowo-Sandi, Ahmad Muzani.

Dia mengklaim, apa yang disamapikan oleh Prabowo tidak ada sedikitpun bertujuan untuk melecehkan. “Pak Prabowo keseluruhan dalam pidato di Boyolali itu, dalam pidato itu saya tidak menangkap sedikitpun ucapan itu dimaksudkan untuk melecehkan orang Boyolali,” ujar Muzani di Koja, Jakarta Utara, Minggu, (4/11/2018).

Sekjen Gerindra itu mengklaim, maksud dari pernyataan Prabowo tersebut untuk menggambarkan kondisi sosial sekarang. Gedung-gedung tinggi yang ada kebanyakan terasing dari masyarakat sekitarnya. Mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar gedung tersebut, klaim dia lagi, tidak pernah merasakan kemegahannya.

“Sebagai bentuk keakraban lantas Pak Prabowo ngomong saudara juga jarang ke sana, tampang-tampang kayak saudara itu. Itu sebenarnya ungkapan keakraban oleh seorang yang sedang berpidato kepada audiensnya untuk menunjukkan bahwa semangat tentang apa yang diucapkannya ada keterasingan antara gedung dan hotel dengan orang di sekitarnya. Itu sesuatu yang asing,” kata dia.

Dalam ilmu orasi, lanjut dia, pernyataan Prabowo tersebut sangatlah lumrah. Bukan untuk melecehkan, melainkan untuk mengangkat moral masyarakat. “Itu dalam ilmu orasi itu biasa. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk melecehkan. Itu justru untuk mengangkat moral kita bahwa kita adalah selama ini orang yang kurang mendapatkan perhatian,” pungkasnya.

Baik Mana?

Tentu saja kedua ucapan itu sama-sama dibela oleh pendukung mereka masing-masing. Pendukung Jokowi menganggap sontoloyo hanyalah umpatan kekesalan yang tidak sengaja diucapkan. Sedangkan pendukung Prabowo mengatakan bahwa tampang Boyolali adalah bentuk bercanda di sela-sela pidato.

Entah mana yang benar dan mana yang salah, tentunya, baik Jokowi maupun Prabowo perlu belajar dari pengalaman. Bahwa, setiap gerak gerik mereka yang terekam di media akan bisa digiring ke berbagai permasalahan.

Contohnya saja, dampak dari pernyataan tampang Boyolali itu, seorang pria kelahiran Boyolali bernama Dakun melaporkan Prabowo ke Polda Metro Jaya. Ada pula ribuan warga yang sempat memadati Balai Sidang
Mahesa Boyolali pada Minggu, 4 November 2018 untuk memprotes pernyataan Prabowo tersebut.

Bahkan, Bupati Boyolali Seno Samodro sampai mengajak warganya untuk jangan memilih calon presiden nomor urut 02 itu. “Saya tegaskan, karena ini Forum Boyolali Bermartabat, tidak usah menjelek-jelekkan Prabowo. Kita hanya sepakat tidak akan memilih capres yang nyinyir terhadap Boyolali. Setuju?” kata Seno ketika berorasi dalam aksi ‘Save Tampang Boyolali’ yang digawangi oleh Forum Boyolali Bermartabat, di gedung Balai Sidang Mahesa, Boyolali.

Saat ini memang masyarakat di Indonesia cukup mudah mengumpulkan massa, hanya untuk bereaksi atas ucapan-ucapan yang diungkapkan oleh politisi yang sekarang sedang asyik-asyiknya berkompetisi sebelum pencoblosan di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Namun ujaran antara sontoloyo dan tampang Boyolali, keduanya masih sama-sama lebih baik daripada politisi yang mencolek isu agama yang berpotensi memecah belah bangsa. Setidaknya, kedua ucapan itu punya sisi positifnya jika benar-benar memahami konteks yang dibicarakan.

Seperti yang dikatakan juru bicara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Faldo Maldini, bahwa arah pidato Prabowo itu adalah tentang kesejahteraan rakyat.

“Saya berharap isu ini mengarah ke substansi, kenapa kesejahteraan pedesaan gagal terangkat? Jangan dipelintir untuk memancing kebencian. Siapa pun yang menang, warga harus jadi yang paling untung,” kata Faldo.

Ujaran Jokowi yang mengatakan, “Hati-hati banyak politikus baik-baik tapi banyak juga politikus sontoloyo,” itu juga punya kesan positif jika mau jujur dan mengakui bahwa di dunia politik tidak semuanya benar-benar ingin mensejahterakan rakyat, tapi ada juga yang hanya menginginkan jabatannya saja.

Makanya secara litterlijk, kata sontoloyo sendiri punya arti konyol, tidak beres, yang istilahnya biasa digunakan sebagai makian ataupun umpatan. Jika Prabowo dalam ucapannya menginginkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Jokowi dalam ujarannya menginginkan rakyat tidak mudah tertipu dengan politisi yang suka mengadu domba. Maka, keduanya sama-sama punya niat yang baik, bukan? Namun, tentunya perlu belajar lagi dalam memilih kata yang baik khususnya di depan publik.

Kegaduhan Dibuat atau Pesanan