Mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husen menjalani sidang di PN Bandung, Jabar.

Jakarta, Aktual.com – Eks Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen, didakwa menerima suap dari narapidana korupsi Fahmi Darmawansyah berupa satu mobil senilai Rp427 juta, sepasang sepatu boot, sepasang sendal, sebuah tas, dan uang berjumlah Rp39,5 juta.

“Terdakwa bersama dengan Hendry Saputra selaku staf umum merangkap sopir Kalapas Sukamiskin menerima hadiah sejumlah uang dan barang dari warga binaan lapas Sukamiskin,” kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Trimulyono Hendradi di pengadilan negeri (PN) Bandung, Rabu (5/12).

Pertama, kata JPU, mereka menerima dari Fahmi Darmawansyah berupa satu unit mobil jenis Double Cabin 4×4 merek Mitsubishi Triton, sepasang sepatu boot, sepasang sendal merek Kenzo, sebuah tas clutch bag merek Louis Vuitton, dan uang Rp39,5 juta.

Awalnya, pada bulan Maret 2018, Wahid mengumpulkan seluruh narapidana di gedung aula lantai dasar, Lapas Sukamiskin. Acara dilanjutkan dengan pertemuan di ruang kerja Wahid dengan paguyuban narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) yang diwakili oleh narapidana kasus korupsi simulator SIM Djoko Susilo, kasus suap pengadaan proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah, dan Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan yang merupakan narapidana kasus suap kepada Guberur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Pada pokoknya, kata dia, memohon agar terdakwa selaku kalapas dapat memberikan “kemudahan” bagi narapidana tipikor untuk izin keluar lapas, baik itu izin luar biasa (ILB) maupun izin berobat ke rumah sakit. Permohonan ini lalu diakomodasi oleh terdakwa.

Wahid selaku kalapas tahu bahwa beberapa narapidana tipikor Sukamiskin mendapatkan sejumlah fasilitas istimewa, seperti kamar lapas yang dilengkapi AC dan televisi serta menggunakan telepon genggam. Namun, Wahid membiarkan hal itu berlangsung sehingga atas sejumlah fasilitas itu Wahid melalui Hendry menerima hadiah dari para narapidana.

Fahmi yang divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara menempati sel nomor 11 Blok Timur atas dan memiliki tahanan pendamping (tamping), yaitu Aldi Chandra dan Andri Rahmat. Mereka bertugas sebagai asisten pribadi Fahmi untuk membersihkan kamar, membelikan makanan, memijat dan mengurus kepentingan lainnya dengan diberikan gaji Rp1,5 juta. Andri adalah narapidana kasus pembunuhan dengan hukuman 17 tahun penjara.

Sel Fahmi dilengkapi jaringan TV kabel, AC, kulkas kecil, spring bed, mebel, dan dekorasi interior High Pressure Laminated.

Fahmi juga menggunakan telepon genggam selama di lapas.

Fahmi dan Andri juga dibolehkan berbisnis untuk mengelola kebutuhan para warga binaan di Lapas Sukamiskin, seperti jasa merenovasi kamar (sel) dan jasa pembuatan saung.

Selain itu, kata ungkap jaksa Trimulyono, Fahmi diperbolehkan membangun sendiri saung dan kebun Herbal di dalam areal lapas serta membangun ruangan berukuran 2 x 3 meter persegi yang dilengkapi dengan tempat tidur untuk keperluan melakukan hubungan badan suami-istri, baik itu dipergunakan Fahmi saat dikunjungi istrinya maupun disewakan kepada narapidana lain dengan tarif Rp650 ribu sehingga Fahmi mendapat keuntungan yang dikelola Andri.

Di samping mendapat fasilitas, Fahmi juga mendapat kemudahan berobat keluar lapas, seperti mengecek kesehatan secara rutin di RS Hermina Arcamanik ataupun di RS Hermina Pasteur. Pelaksaan berobat biasanya dilakukan pada hari Kamis. Namun, setelah berobat, Fahmi tidak langsung kembali ke lapas, tetapi ke rumah kontrakannya di Perum Permata Arcamanik Bandung. Dia baru kembali ke Lapas Sukamiskin pada hari Senin.

“Segala keperluan untuk pelaksanaan izin berobat Fahmi disiapkan Andri Rahmat, termasuk pengurusan biaya sopir mobil ambulans,” kata jaksa.

Saat Andri Rahmat sedang memijat Wahid di ruang kerjanya pada bulan April 2018, Wahid melihat di internet dan baru kembali ke Lapas Sukamiskin pada hari Senin.

Segala keperluan untuk pelaksanaan lalu Andri menawarkan bila ingin mobil itu maka akan menyampaikannya kepada Fahmi dan Wahid pun meminta mobil merek Mitsubishi Triton. Andri lalu menyampaikannya kepada Fahmi, kemudian Fahmi memutuskan membelikan produk terbaru mobil jenis Double Cabin 4×4 merek Mitsubishi Triton denga meminta istrinya Inneke Koesherawati mencarikan mobil itu dan mendapat mobil seharga Rp427 juta.

Mobil diserahkan oleh adik ipar Fahmi, Ike Rachmawati, pada tanggal 19 Juli 2018 dengan diantarkan ke rumah Wahid, Jalan Tirtawangi Utara Nomor 3 Bojongsoang Kabupaten Bandung sekitar pukul 22.00 WIB.

Wahid juga menerima uang dari Fahmi senilai total Rp39,5 juta secara bertahap, yaitu pertama sebesar Rp4,5 juta untuk perbaikan mobil Wahid dan Rp15 juta untuk menjamu makan rombongan tamu di restoran Sabu Hachi, Citarum, Bandung pada bulan Mei 2018.

Fahmi juga memberikan sepasang sepatu boot kepada Wahid pada Mei 2018 yang dibeli keluarga Fahmi dari Cina.

Pada bulan Juni 2018, Fahmi memberikan Rp20 juta melalui Andri Rahmat untuk uang saku perjalanan dinas.

Fahmi masih memberikan sepasang sendal merek Kenzo untuk istri Wahid pada bulan Juni 2018.

Selanjutnya, pada bulan Juli 2018, Fahmi melalui Andri memberikan satu cluth bag merek Louis Vuitton untuk Wahid yang diterima melalui Hendry Saputra.

“Tas jenis cluth bag tersebut nantinya akan dihadiahkan terdakwa kepada atasannya, yakni Sri Puguh Budi Utami selaku Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumhan sebagai kado ulang tahun,” ungkap jaksa Trimulyono.

Selain mendapat hadiah dari Fahmi, Wahid Husen juga mendapatkan uang sejumlah Rp63,39 juta dari narapidana korupsi Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan dan dari Fuad Amin Imron seluruhnya Rp71 juta dan fasilitas peminjaman mobil Toyota Innova serta dibayari menginap di Hotel Ciputra Surabaya selama 2 malam.

Atas perbuatannya, Wahid didakwa Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: