Ketika banyak orang “mendadak demam Pancasila” akhir-akhir ini, musisi yang satu ini sudah jauh-jauh hari bicara tentang cinta alam, Tanah Air, dan masalah sosial. Ia bernyanyi dengan semangat patriotisme dan nasionalisme yang mendalam. Dialah Leo Imam Sukarno, atau lebih dikenal dengan nama Leo Kristi.

Lahir di kota pahlawan Surabaya, Jawa Timur, 8 Agustus 1949, Leo Kristi adalah musisi pengelana yang amat menikmati karier musiknya di jalanan. Leo berbeda dengan rekan-rekannya (yang sudah almarhum), seperti Gombloh atau Franky Sahilatua, yang memilih untuk “bermukim” di satu tempat.

Leo ikut mendirikan grup musik beraliran rock progresif bernama Lemon Trees bersama Gombloh dan Franky. Namun, Leo merasa menemukan “pengembaraan” musikalnya lewat perjalanan panjang menjelajah Nusantara.

Setelah memisahkan diri dari Lemon Trees, Leo Kristi lebih suka tampil dalam konser dengan memakai jubah hitam di atas panggung. Balada adalah ciri khas dari hampir seluruh musik yang diciptakannya.

Pendidikan formal Leo diawali pada 1961 di SD Kristen Surabaya. Setelah itu ia memasuki SMP pada 1964. Pada masa ini Leo juga ikut Kursus Musik Dasar oleh Syam Kamaruzaman. Ia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Surabaya pada 1967.

Leo sempat berkuliah di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya pada 1971. Namun, ia tidak menyelesaikan kuliahnya dan mulai berdagang daster. Di sinilah ia bertemu Gombloh dan mengawali karier sebagai pemusik keliling (trubadur).

Musik adalah dunia yang dikenalnya sejak kecil. Leo kecil menyimak setiap irama yang dimainkan tiap subuh oleh ayahnya, Raden Ngabei Iman Soebiantoro, seorang pensiunan pegawai negeri yang juga musisi.

Sejak kecil, Leo aktif dalam kegiatan menyanyi di gereja, sebagai bagian dari kegiatan sekolah dasarnya, meskipun ia sendiri muslim. Leo mengatakan, musik baginya adalah sahabat, dan ia menyambut nyanyian sebagai kecintaan.

Di SMP pula ia mendapat sebuah gitar dari ayahnya. Lalu, ia masuk kursus Tony Kerdijk, Direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Untuk menyanyi ia belajar pada Nuri Hidayat dan John Garang. Ia juga pernah kursus gitar pada Poei Sing Gwan dan Tan Ek Tjoan, dua gitaris yang cukup memberi pengaruh pada musiknya.

Di SMA, ia tidak lepas dari kewajiban berbaris dan ikut menyanyikan lagu-lagu perjuangan di bawah Tugu Pahlawan. Leo juga bergabung dalam band sekolah beraliran rock n’ roll bernama “Batara,” yang beranggotakan teman-temannya dari SMA. Mereka sering menyanyikan lagu-lagu The Beatles dan namanya cukup terkenal di kawasan lokalisasi Surabaya.

Bagi insan media, Leo adalah sosok yang sulit dicari. Namun ia bisa tiba-tiba muncul dan menggelar konser. Sebelum dikenal sebagai musisi, pria yang logat jawa timurannya masih sangat kental ini pernah menjadi penjual buku Groliers American Books dan karyawan pabrik cat Texmura. Leo juga pernah menjadi penyanyi di restoran “China Oriental” dan “Chez Rose” (1974-1975) dan menyanyi di LIA dan Goethe Institut Surabaya.

Musik Leo lahir dalam grup “Konser Rakyat Leo Kristi” (KRLK) bersama Naniel Yakin, Mung Sriwiyana, serta kakak beradik Lita Jonathans dan Jilly Jonathans, sampai albumnya yang ketiga.
Musik KRLK menyenandungkan balada, semangat cinta bangsa, dan kisah-kisah rakyat yang lebih banyak dalam irama folk, country, dan didukung dengan lirik-lirik yang puitis. KRLK hampir tak pernah absen dalam beberapa kali pementasan memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Kegembiraan yang dihadirkan Leo Kristi dengan gitar bolong di pangkuannya memang melenakan, sekaligus mengharukan. Musikus balada lainnya seperti Franky Sahilatua, Iwan Fals, dan Doel Sumbang telah dengan sadar berdamai dengan pasar, sehingga secara finansial lebih dari berkecukupan.

Namun Leo Kristi tetap setia di jalur musinya. Leo menggelandang dan bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat jelata dalam proses kreatif penciptaannya. Maka, dengan lagu balada yang sarat dengan lirik patriotisme dan cinta, ia tetap menggelorakan semangat juang.

Leo dengan Konser Rakyat-nya, ternyata mempunyai penggemar, yang nyaris men-tradisi (selain seumuran dengan Leo, juga terus mengikuti dengan aktif berkontribusi). Mereka tergabung dalam sebuah komunitas dengan nama LKers (Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kristi). LKers dibuat oleh dan untuk penikmat karya legendaris pemusik trubadur Leo Kristi, yang terekam dalam sejumlah album KRLK.

Album KRLK yang sekarang menjadi barang langka adalah Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985) yang gagal beredar, Deretan Rel Rel Salam Dari Desa (1985, aransemen baru), (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993) dan Tembang Lestari (1995, direkam pada CD terbatas), Warm, Fresh and Healthy (17 Desember 2010), dan terakhir album Hitam Putih Orche (2015). Bagi Leo, rekaman konon lebih merupakan paket dokumentasi perkembangan musiknya.

Leo Kristi meninggal di Bandung, Jawa Barat, 21 Mei 2017, pada umur 67 tahun. Ia wafat sekitar pukul 00:30 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Sebelum dimakamkan, jenazah penyanyi ini disemayamkan di rumah duka, di Jalan Bongas II E7 No, 17 Jatiwaringin Asri, Pondok Gede, Jakarta Timur. ***

Artikel ini ditulis oleh: