Calon Presiden Joko Widodo dan Calon Presiden Prabowo Subianto memanjatkan saat mengikuti rapat Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Capres dan Cawapres Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan Jokowi-Ma'ruf memperoleh nomor urut 01 sementara pasangan Prabowo-Sandiaga memperoleh nomor urut 02. AKTUAL/Tino Oktaviano
Jakarta, aktual.com – Sikap netralitas sebagai penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019 harus menjadi komitmen bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam menjaga jalannya perhelatan demokrasi lima tahunan, terlebih khusus memilih pemimpin bagi bangsa ini ke depan.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketentuan pada Bab II  tentang Asas, Prinsip, dan Tujuan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Terutama, pada Pasal 2 ; Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Dalam menyelenggarakan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip:
a. mandiri;
b. jujur;
c. adil;
d. berkepastian hukum;
e. tertib;
f. terbuka;
g. proporsional;
h. profesional;
i. akuntabel;
j. efektif; dan
k. efisien.
Memasuki masa kampanye jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 baik kubu pendukung calon presiden dan calon wakil presiden dari petahana yakni Joko Widodo – Ma’ruf Amin, maupun kubu penantang Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saling mengawasi satu sama lain.
Tanpa terkecuali, peran KPU sebagai penyelenggara yang juga sekaligus wasit dalam ‘pertandingan’ pun tidak terlepas dari pengawasan dari peserta Pemilu.
Seperti peristiwa yang terjadi di sela-sela acara deklarasi ‘Kampanye Damai’ yang diselenggarakan KPU RI di Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (23/9). Dalam acara yang dihadiri oleh dua pasangan calon (Paslon) dan partai pendukung untuk berkomitmen menjaga suasana damai pada Pemilu nanti.
Akan tetapi, di tengah acara justru di warnai dengan aksi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang walk out dari arena tersebut.
Lantaran, merasa ‘tertipu’ dengan sikap KPU, yang cenderung abai terhadap adanya pelanggaran aturan yang dilakukan sekelompok pendukung dalam acara deklarasi itu.
Sekertaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengungkapkan, SBY sempat menghadiri acara deklarasi ini. Namun, saat parade deviley dimulai, SBY walk out dan meminta Hinca menggantikannya memimpin parade deviley.

“Partai Demokrat, juga Pak SBY protes keras terhadap KPU dalam rangka deklarasi ini, tadi teman-teman melihat Pak SBY hadir, tadi malam saya menelepon Ketua KPU, Pak SBY akan hadir, tapi baru kira-kira lima menit tadi ikut deviley itu, beliau turun dan walk out meninggalkan barisan karena melihat banyak sekali aturan main yang tak disepakati (sejak) awal,” kata Hinca usai acara deklarasi di Lapangan Monas, Minggu (23/9).

Menurut dia, pelanggaran yang dimaksud SBY salah satunya, adanya atribut partai politik yang dibawa massa pendukung. Padahal telah disepakati dalam deklarasi kampanye damai tidak diperbolehkan membawa atribut partai serta diwajibkan memakai pakaian adat.

“Misalnya kan kita sepakat pakaian adat saja damai dan tidak membawa partai apalagi membawa atribut yang begitu banyak sehingga terkesan kampanye,” ujar Hinca.

Tidak hanya itu, acara telah diselesaikan padahal Partai Demokrat belum menandatangani deklarasi damai. Untuk itu, Demokrat menulis protes keras kepada Ketua KPU Arief Budiman.

“Kami tak bisa tandatangani, nah sehingga apa yang terjadi saya telah menulis protes keras kepada Ketua KPU Arief Budiman dan cc-nya Ketua Bawaslu (Abhan). Ketua Bawaslu sudah jawab katanya saya sudah ingatkan tadi Pak Arief,” pungkasnya.

Senada dengan koleganya, calon Presiden Prabowo Subianto pun langsung merespon soal aksi walk out SBY saat karnaval.
Prabowo menilai, aksi walk out SBY saat itu karena adanya provokasi terhadap Presiden ke-6 RI tersebut. Tindakan provokasi itu, lanjut Prabowo, perlu dipertanyakan kenapa bisa terjadi.
“Saya waktu itu belum mengikuti. Tapi saya dengar banyak tindakan yang perlu dipertanyakan ya saya kira,” ucap Prabowo di Kartanegara, Jakarta Selatan, Senin (24/9).
Pun demikian, Prabowo enggan merinci, tindakan yang dimaksud, namun yang membuat SBY walk out adalah banyaknya atribut relawan dan Parpol yang tak sesuai arahan KPU, dan adanya provokasi dari relawan ke Prabowo-Sandi.
Sebelumnya, Sandi sangat menyayangkan pihak-pihak yang memprovokasi SBY saat karnaval itu. Dia menyebut Prabowo memang tidak mengetahui saat SBY walk out dan penyebabnya.
“Saya sangat menyayangkan ya kalau itu. Pak SBY kan presiden keenam kita yang sangat kita hormati. Tolong dong dihormati, jangan sampai menyakiti perasaan beliau,” sebut Sandi.
Saat SBY walk out, sambung Sandi, Prabowo yang sedang bersamanya sempat bertanya ke mana dan kenapa SBY pergi. “Saya lagi duduk tadi terus Pak Prabowo nanya saya, ‘Pak SBY kenapa pulang’, kita juga enggak tahu. Rupanya tadi ada kejadian yang membuat Pak SBY pulang, ” ucap mantan wakil gubernur DKI Jakarta itu.
Deklarasi Kampanye Damai, Jadi Barometer Netralitas KPU?

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang