TOPSHOT - An aerial view shows the earthquake and tsunami devasted neighbourhood in Palu, Indonesia's Central Sulawesi on October 1, 2018. - The death toll from the Indonesian quake-tsunami nearly doubled to 832 but was expected to rise further after a disaster that has left the island of Sulawesi reeling. (Photo by JEWEL SAMAD / AFP)

Palu, aktual.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak Pemerintah Pusat untuk mengakhiri intervensi penanganan dan pemulihan korban pascabencana di Sulteng.

“Kebijakan pelibatan lima ribu babinsa serta menyiapkan skema pencairan dana stimulan, bukti nyata Jakarta ‘mau ambil alih’ semua hal khususnya terkait kegiatan atau kerja-kerja dimasa rehabilitasi dan rekonstruksi,” ucap Ketua Komnas-HAM Perwakilan Sulteng, Dedi Askary dalam keterangan tertulisnya di Palu, Minggu (10/2).

Ia menilai, nampak jelas skema pencairan dana stimulan terhadap rumah masyarakat yang rusak total, sedang dan ringan, itu memperpanjang beban dan penderitaan korban bencana alam di padagimo.

Di tengah kompleksitas masalah, tambahnya masyarakat harus disibukkan dengan segala syarat administrasi sebagaiman tersebut dalam skema yang dipresentasikan oleh pemerintah.

Apa yang ditawarkan (skema pencairan) sangat mengabaikan suara dan nurani korban, lebih jauh semua itu tidak menggambarkan mekanisme partisipasif, bahkan melecehkan budaya lokal, dalam konteks budaya dan adat-istiadat.

Masyarakat di Lembah Palu dan Sigi ini salah satu yang mereka utamakan adalah trus/kepercayaan, kepada siapapun mereka percaya dan selalu berbaik sangka, sekalipun terhadap orang yang baru dikenal, jelasnya.

Olehnya, menurut dia tidak heran jika Gubernur Sulteng, Longky Djanggola menyatakan menolak skema tersebut. Karena itu, yang patut di ingat Jakarta bahwa Longky Djanggola adalah simbol budaya dan adat-istiadat masyarakat Sulteng, khususnya bagi masyarakat Kaili yang bermukim di Lembah Palu dan Sigi.

Olehnya sikap tegas gubernur tersebut, patut diapresiasi dan didukung dengan segala totalitas yang ada. Kedua, Jakarta harus sadar, bahwa bencana alam yang terjadi tgl 28 September 2018 itu tidaklah ditetapkan sebagai bencana nasional, karenanya total kewenangan ada di BPBD dan pemerintah daerah.

Jakarta itu hanya pendampingan dan asistensi serta menfasilitasi ketersediaan ahli dan fasilitasi anggaran jika pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki ketersediaan anggaran yang cukup,” sebut dia.

Ia mengutarakan pengusulan akan kebutuhan anggaran disampaikan melalui gubernur, sangat beda makna pendampingan, asistensi dan fasilitasi dari apa yang dilakukan Jakarta sekarang ini.

Ketiga, dan ini membuat publik kaget dan tercengan, di Rehab dan Rekon dengan melibatkan 5.000 orang personil Babinsa sebagai fasilitator rehab dan rekon.

Apalagi, tegas dia, hanya dibekali dengan penguatan SDM dalam mekanisme pelatihan singkat yang rentang waktunya hanya satu hari. Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (PADAGIMO), bukan wilayah atau daerah operasi militer atau bencana sosial. Di Wilayah Padagimo ini, yang terjadi adalah bencana alam. Kebijakan pelibatan 5.000 Babinsa, adalah bentuk pengabaian atas resourcis dan potensi2-potensi yang ada di daerah, bahkan pelibatan tersebut “merecoki” kewenangan lintas SKPD yang oleh instrumen hukum secara tegas menyatakan bahwa termasuk pelaksanaan rehab dan rekon leading sektornya dilakukan oleh lintas SKPD atau OPD yang ada di Daerah.

Jikalau terus dan tetap ngotot seperti sekarang, ya harus rubah status bencana Sulteng yang ada menjadi bencana Nasional, urai Dedi Askary.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin