Jakarta, Aktual.com – Sudah sembilan hari bencana tsunami Selat Sunda yang disebabkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau ini. Namun ternyata masih banyak relawan-relawan yang bertahan untuk membantu para korban bencana tersebut.

Di antaranya para relawan yang tergabung dalam Relawan Kemanusiaan Indonesia (RKI). Di kantor Sekretariat Bersama (Sekber) RKI, awak media masih bertemu dengan Yayat Supriyatna dan Pepi Supiyandi.

Mereka adalah Ketua dari organisasi Paguyuban Kerabat Pajajaran. Serta ada Ahmad Marzuki, salah satu Ketua Organisasi Perhimpunan Pemuda dan Pengusaha Pancasilais.

Menurut Yayat, suasana sangat cair terjadi di kantor Sekber di Pandeglang, lokasi yang terdampak dari bencana tsunami tersebut. Cerita dia, dirinya kerap bergurau bersama kawan-kawan di Sekber itu.

“Tujuannya (bergurau) agar para relawan yang lelah dan stres bekerja (mengevakuasi) untuk korban bencana, dapat relaksasi sejenak melalui cerita-cerita lucu saya,” tutur Yayat dalam keterangan resmi media yang diterima, di Jakarta, Senin (31/12).

Yayat menambahkan, di Sekber RKI sendiri sejatinya terdiri dari bermacam organisasi dan pribadi yang memiliki latar belakang berbeda-beda.

“Akan tetapi saat ini saya membuktikan, rasa kemanusiaan itu telah menghancurkan perbedaan dan egosentris kita,” tandasnya.

Hal senada juga diutarakan Pepi. Bapak dari dua anak tersebut mengatakan, dirinya yang merupaka warga Rangkasbitung, Lebak, Banten itu sangat terharu dengan keikhlasan para relawan yang datang dari jauh-jauh untuk membantu korban tsunami di sini.

“Bahkan ada relawan dari daerah Palu, Sulawesi Tenggara datang jauh-jauh ke sini untuk jadi relawan bergabung di Sekber RKI. Ini yang jauh saja mau membantu jadi relawan, masa yang tinggalnya dekat dari lokasi bencana hanya duduk santai di rumah dan menonton televisi,” ungkap Pepi.

Marzuki juga menambahkan, dirinya masuk ke dalam kantor Sekber RKI dengan membawa 700 potong pakaian baru yang diperoleh dari rekan-rekannya.

“Karena saya merasa malu kepada Allah jika hanya duduk diam di rumah dan memantau perkembangan bencana tsunami dari televisi atau media sosial,” ungkap pria yang akrab disapa Kuntet ini tergugah.

Menurut Marzuki, menjadi relawan kemanusian itu bukan hal yang mudah. Karena dirinya harus berkorban waktu, tenaga, pikiran, uang dan mungkin juga nyawanya sendiri.

“Akan tetapi, itu bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Jika kita melakukan itu pasrah kepada kehendak-Nya, maka kita akan mampu melaksanakan perintah-Nya untuk hidup bermakna bagi orang banyak, salah satunya adalah menjadi relawan kemanusiaan,” dia menegaskan.

Artikel ini ditulis oleh: