Jakarta, Aktual.com – Istilah peradaban merujuk kepada sebuah sistem tatanan kemasyarakatan yang bersifat material dan  unmaterial. Ia merupakan hasil dari dialektika manusia yang berkembang terus menerus seiring dengan berjalannya sistem kemanusiaan itu sendiri. Peradaban bersifat dinamis mengikuti alur kehendak manusia sebagai subjek dari keterbentukan hal tersebut.

Dalam sejarahnya, Islam memiliki kontribusi yang besar dalam proses dialektika peradaban. Dimulai dari Kota Makkah, Nabi Muhammad Saw. menawarkan sebuah konsep berkehidupan yang benar-benar baru bagi peradaban kemanusiaan pada masa itu. Dengan Islam sebagai tawaran (baca: konsep berpikir), Muhammad Saw. membawa gerbong perubahan yang revolusioner dalam menciptakan pondasi dan tata nilai masyarakat ke arah yang lebih modern dalam berbagai aspeknya; sosial; politik; ekonomi; budaya, dll. Islam dengan segala yang ada padannya telah menjadi poros dialektis baru dalam memperkenalkan sebuah peradaban yang dapat mensinergikan secara paripurna konsep rasionalitas dan spiritualitas dalam satu kesatuan yang utuh.

Kita menyadari, bahwa kemegahan peradaban islam tidak tercipta begitu saja. Ia terbentuk  dari sebuah narasi sejarah panjang yang dimulai dari abad ke- 6 M. Sebelum era itu pun, bukan berarti konseptualisasi pemikiran nihil tanpa karya. Islam hadir memberikan percepatankonsep kepada para kaum cerdik pandai untuk melahirkan karya-karya yang lebih mapan bahkan baru.

Peradaban Eropa menjadi saksi, betapa khazanah yang dilahirkan dari rahim Islam dapat mengantarkan mereka masuk ke dalam dunia baru yang lebih bersahaja dengan munculnya renaisannce (era pencerahan) kisaran abad ke-16 M. Napoleon Bonaparte, seorang penakluk terkenal berkebangsaan Perancis pernah berkata, “Selama abad-abad pertengahan, sejarah Islam merupakan peradaban utuhnya. Berkat keuletan kaum muslim lah, ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani tertolong dari kebinasaan, dan kemudian datang membangunkan peradaban barat serta membangkitkan gerakan intelektual sampai pada pembaruan Francis Bacon. Dalam abad ke-7 dunia lama itu sedang dalam kemundurannya. Muhammad telah memberikan kepada mereka sebuah kitab (al-Qur’an) yang merupakan titik tolak ke arah dunia baru.”

Bahkan, seorang Descartes (filosof rasionalisme berkebangsaan Perancis, w. 1650 M) dalam jargon terkenalnya ‘Cogito Ergosum’ (Aku berpikir, maka aku ada) dalam banyak hal mempunyai kesamaan konsep dengan metode skeptik ala al-Ghazali (W. 111 M). Begitupun peranan Bacon (filosof empirisme berkebangsaan Inggris, w. 1626 M) yang terkenal sebagai pencetus logika induktif mempunyai kemiripan substansi dengan apa yang telah dilakukan Ibnu Taimiyah (W. 1328 M) yang jauh-jauh hari telah mengkritik tradisi logika aristoteles yang menurutnya tidak dapat melahirkan sebuah penemuan baru selain permainan kata-kata belaka.

Dalam dinamika internal umat Islam sendiri, dari sejak kemunculannya, ia telah menjadi poros baru kajian keilmuan yang telah melahirkan bangunan megah literasi serta poros budaya dan tradisi yang begitu unik. Para cendikiawan muslim dari generasi salaf sampai modern telah menuliskan jutaan hasil karya dalam berbagai bidang ilmu dan kajian yang tidak dimiliki oleh peradaban manapun. Bangunan megah ini merupakan hasil dari olah interpretasi kekayaan Islam yang secara substansi berasal dari dua sumber utama; al-Qur’an dan Sunnah.

Bangunan literasi Islam  yang begitu kaya tersebut dapat dilihat dari ilmu-ilmu yang lahir dari rahim Islam, seperti: ilmu nahwu dan shorof (gramatikal bahasa arab), fikih, akidah, tasawuf, hadis, tafsir, hukum waris, syair, mawaris, dll. Adapula yang memang merupakan tradisi keilmuan yang sudah ada pada masa pra Islam, namun secara substansi dimatangkan dan disempurnakan oleh Islam seperti: ilmu filsafat, logika, astronomi, politik dan tata negara, sejarah, sosiologi, ekonomi, kedokteran, dsb.

Keterpengaruhan ilmu-ilmu bercorak Islam pada sebuah tradisi dan pemikiran sebelumnya seperti Yunani dan Persia memang sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Namun Islam memberikan sentuhan baru yang menjadikannya lebih kokoh secara teoritis maupun praksis.
Kekayaan literasi dan budaya yang bercorak Islam pun tidak lepas dari konsep keterbukaan yang dimiliki oleh Islam. Islam hadir bukan untuk meruntuhkan sebuah budaya dan pemikiran yang dihasilkan oleh peradaban pra Islam, namun ia datang untuk meluruskan dan menyempurnakan sebuah nilai tersebut agar berjalan pada poros dan tujuannya yang benar.

Dialektika antara sebuah tradisi tertentu dengan nilai Islam bukan dipandang sebagai sesuatu yang haram, namun itu menjadi sebuah khazanah keberagaman yang akhirnya dapat menjadikan Islam mampuditerima dan diaplikasikan pada semua zaman dan kondisi.
Konsep “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”(memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik) sudah menjadi pakem yang dijalankan oleh para cendikiawan Islam jauh-jauh hari, sehingga keberagaman nilai yang kemudian dihasilkan dari hal tersebut semakin memperindah Islam sebagai sebuah peradaban  yang bernilai tinggi. Wallahu A’lam

Penulis: Mabda Dzikra

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid