Surat Keterangan Lunas (SKL) diterbitkan berdasarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Kebijakan itu diambil Presiden Megawati Soekarno Putri atas masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

SKL itu sendiri berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal itu berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, atau yang lebih dikenal dengan Inpres tentang release and discharge.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat krisis moneter tahun 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 Bank.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan, dari dana BLBI itu, negara dirugikan sebesar Rp138,4 triliun atau 95,878 persen. Sementara, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun dari 42 Bank penerima BLBI. BPKP menyimpulkan, Rp53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. Aktual.com pernah memuat artikel dengan judul “Membuka Kotak Pandora SKL BLBI Lewat Megawati”.

Meski demikian, KPK memutuskan tidak akan memperkarakan kebijakan, sekalipun, Inpres ini yang menjadi dasar penerbitan surat lunas untuk obligor BLBI oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

“Kita, kan, tidak selalu menyoroti policy, kita menyoroti pelaksanaan. Policy pada waktu itu kita tidak permasalahkan,” kata Ketua KPK, Agus Rahardjo beberapa waktu silam.

Memang sejak mengumumkan penetapan Syafruddin Tumenggung sebagai tersangka, KPK sudah buru-buru menyimpulkan tidak ada unsur korupsi dalam kebijakan Megawati Soekarnoputri.

“Memang itu kebijakan pemerintah, tapi tidak menjadi suatu tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam keterangan pers di kantornya, Selasa (25/4).

Menurut Basaria ketika itu, suatu kebijakan akan menjadi tindak pidana apabila di dalam proses dikeluarkannya ada sesuatu yang dimanfaatkan oleh orang yang mengeluarkan kebijakan tersebut untuk kepentingan pribadi. Atau, bisa juga dimanfaatkan untuk menguntungkan kelompok atau orang lain.

Selang satu hari penetapan Syafruddin, Presiden Joko Widodo pun mengeluarkan pernyataan yang sama, yakni kasus dugaan korupsi SKL BLBI tidak bisa langsung dikaitkan dengan Megawati.

Jokowi yang notabene kader PDIP Itu pun meminta publik memahami perbedaan makna pembuatan dan pelaksanaan kebijakan Presiden.

“Bedakan yang paling penting, bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. Ya, keputusan Presiden, peraturan Presiden, instruksi Presiden, itu adalah sebuah kebijakan. Itu kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Pelaksanaan itu wilayah yang berbeda lagi, tapi detail itu tanyakan ke KPK,” kata Jokowi di JCC Jakarta, Rabu, 26 April 2017.

Sementara Syafruddin Tumenggung yang mengeluarkan kebijakan atas kebijakan yang dibuat Megawati dianggap KPK berbeda.

Alumnus jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1983 itu kedapatan mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan. Angka itu yang dianggap KPK sebagai kerugian negara.

Hal inilah yang kemudian dipertanyakan Rachmawati Soekarnoputri. Menurut saudari kandung Megawati keputusan Ketua KPK Agus Rahardjo keblinger.

“Kata Ketua KPK kebijakan itu tak bisa dikriminalisasi. Ini bikin keblinger orang. Justru kebijakan itu yang buat kita salah,” kata Rachmawati beberapa waktu yang lalu.

Ia mengaku kecewa dengan sikap KPK tersebut. Sebab menurut dia, Syafruddin hanyalah pihak yang menjalankan kebijakan Megawati ketika itu.

“Menurut saya, bukan Syafruddin Temenggung yang harus diperiksa, tapi bonggonya itu siapa. Yang memberikan kebijakan Inpres No 18 tahun 2002 itu pada saat Presiden Megawati,” kata dia.

Rachmawati lantas memberikan contoh mantan Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye yang dihukum penjara karena kebijakannya yang koruptif.

“Kita koreksi kebijakan Soeharto koruptif, KKN, apa tak boleh dikoreksi? Kenapa tak boleh dikoreksi? Harus dilakukan kebijakan hukum yang adil dan benar,” kata dia.

Meski Megawati merupakan saudara, Rachmawati tegas soal keadilan bagi rakyat.

“Kalau saudara tau, itu memang saudara saya tetapi kalau soal keadilan soal kesejahteraan itu buat saya tidak ada par don (maaf),” tegas Rachmawati.

Sebab ia mengganggap kebijakan yang dikeluarkan saudaranya tersebut memiliki dampak yang sangat besar ke rakyat.

“Sampai hari ini Rp7.000 triliun negara rakyat dirugikan dan harus membayar Rp7.000 triliun untuk menutupi para pengemplang pajak dan koruptor pada kasus BLBI tersebut,” ucap sukmawati

Syafruddin Tumenggung Tunjuk Sri Mulyani Ikut Bertanggung Jawab

Halaman Selanjutnya…

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby