Hanya selang setahun jelang Pilpres 2019, menarik mencermati formasi politik di balik pemerintahan Presiden Joko Widodo(Jokowi). Betapa masih kuatnya pengaruh nuklius (kelompok inti) politik Angkatan Darat yang berpusat pada Jendral (purn) Hendropriyono bukan saja di jajaran kabinet, melainkan juga di simpul-simpul luar pemerintahan namun bertautan dengan istana. Seperti Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Kantor Staf Presiden (KSP).

 

Sebelum mengurai lebih jauh, mari kilas balik sejenak buka tumpukan berita-berita lama seputar Krisis Mei 1998 yang bermuara pada lengsernya Presiden Suharto pada 22 Mei 1998. Yang didahului dengan peristiwa penembakan terhadap empat aktivis mahasiswa Universitas Trisakti, yang kemudian disusul dengan Kerusuhan Mei 1998. Rangkaian kejadian tersebut.

 

Seluruh rangkaian antara penembakan terhadap para aktivis mahasiswa hingga rusuh Mei, merupakan prakondisi terbentuknya sebuah nuklius politik baru. Yaitu kolaborasi antara nuklius politik sipil yang kelak merajut formasi politiknya dengan terbentuknya Kartel Politik lima partai. Bekerjasama dengan beberapa purnawirawan Angkatan Darat yang dimotori oleh Hendropriyono, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Sutiyoso.

 

Pentasan awal kolaborasi tersebut dimulai dengan keputusan pengunduran diri 14 menteri kabinet pemerintahan Suharto, yang dimotori oleh Menko Ekonomi Ginandjar Kartasasmita. Namun yang luput dari amatan, meskipun skema dan rencana strategis pengunduran diri 14 menteri tersebut disusun oleh Ginandjar, namun di dalam jajaran 14 menteri yang mundur itu, ada Hendropriyono di dalamnya. Maka penyusun rencana operasi untuk merealisasikan renstra Ginandjar adalah Hendro.

 

Begitu Suharto lengser, pemerintahan transisional dipegang oleh BJ Habibie yang sebelumnya adalah Wakil Presiden. Ginandjar, selain skemator kebijakan strategis ekonomi pasca Suharto, juga punya kaki-kaki penopang yang kokoh hasil binaannya melalui keluarnya Keputusan Presiden  No 10/1980 di era Suharto. Yang mana melalui Kepres tersebut lahir beberapa pengusaha pribumi untuk mengimbangi mengguritanya kekuatan ekonomi para taipan yang juga  dibesarkan Suharto. Seperti Arifin Panigoro, Fahmi Idris, Imam Taufik, Aburizal Bakrie, Fadel Muhammad dan masih banyak lagi. Mereka ini di era Suharto membangun suatu nuklius politik dalam Golkar, yang kala itu merupakan partai politik andalan Suharto untuk melestarikan kekuasaannya. Melalui basis Golkar ini lah, Ginandjar membangun lapisan kepemimpinan politik yang diikat oleh sebuah agenda ekonomi-politik.

 

Selain melalui Golkar, Ginandjar juga meluaskan jaringan pengaruhnya dengan membangun nuklius politik atas dasar ikatan perkawanan karena sama-sama berguru Taekwondo di bawah arahan Matzuzaki Hio. SBY, Arifin Panigoro, Marzuki Darusman, Fahmi Idris, Osman Sapta Odang dan Aburuzal Bakrie. Mereka ini kemudian kerap saya istilah sebagai the Matzuzaki Club.

 

Sebagai nuklius politik, Fahmi Idris dan Marzuki Darusman, pada perkembangannya merupakan aktor-aktor politik handal Golkar dari era Suharto hingga era Reformasi. Arifin Panigoro fokus di dunia binis minyak dan energi melalui holding company-nya Medco. Begitu pula Ical Bakrie berkiprah di bisnis. Osman Sapta pelan tapi pasti selain juga berbisnis, kemudian berkiprah membangun imperiumnya di perpolitikan daerah. Bahkan saat ini menjadi Ketua Umum Dewan Perwakilan Daerah walau tetap merangkap sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Premanisme politik dan daerah agaknya memang talenta andalannya.

 

SBY, sebagai bagian dari nuklius ini, kemudian membangun jaringan kerja politik dengan beberapa atasanya yang kala itu memegang posisi kunci Angkatan Darat. Seperti Hendropriyono, Wiranto, dan Sutiyoso. Apalatgi sejak Hendro memegang grip sebagai Panglima Kodam Jakarta Raya, kolaborasi SBY dengan Hendro dan Wiranto serta Sutiyoso semakin solid. Bahkan ketika Hendro dipinggirkan oleh Suharto setelah selesai menjabat Pangdam Jaya, Wiranto dan Sutiyoso meneruskan tampuk kepemimpinan Jakarta. Sementara pada 1996, ketika Sutiyoso menjadi Pangdam Jaya,  SBY memegang posisi strategis sebagai Kasdam Jaya. Meski di bawah Sutiyoso, Kasdam pada kenyataannya yang paling punya akses ke pasukan dan berbagai unit tempur yang berada di bawah wewenang Kodam bersangkutan.

 

Menariknya semasa SBY menjabat Kasdam inilah, Moeldoko kala itu menjabat sebagai Komandan Kodim Jakarta Pusat, di wilayah terjadinya kerusuhan Juli 1996 ketika sekelomnpok orang menyerbu kantor PDI yang dipimpin Megawati. Menariknya lagi, sebelum Komandan Kodim Jakarta Pusat, Moeldoko pada 1995 sempat menjadi Komandan Brigade Infantri di jajaran Kodam Jaya.

 

Tak heran jika Moeldoko dipandang sebagai orang dekat dan kepercayaan SBY mengingat fakta bahwa antara 1995-1996 Moeldoko memegang dua pos kunci di Kodam Jaya semasa SBY jadi Kasdam Jaya.

 

Begitulah. Selain nuklius sipil embrio terbentuknya Kartel Politik lima partai yang berpusat pada Ginandjar boys, Hendro dan SBY secara sistematis dan terencana membangun nuklius Angkatan Darat yang diproyeksikan untuk memegang pengaruh politik pasca Suharto.

 

Di sinilah kepentingan dan agenda strategis Kartel Politik dan nuklius politik Angkatan Darat bertemu dan bertaut, untuk mendorong kejatuhan Suharto. Mereka berhasil. Kartel politik yang dimotori para pengusaha dan politisi professional Golkar kemudian membangun sebuah aliansi strategis berbasis koalisi lintas partai bersifat permanent.

 

Arifin Panigoro ditanam di PDI yang kelak di era reformasi menjelma jadi PDIP pimpinan Megawati. Di lapis setelah Arifin Panigoro, diteruskan oleh Pramono Anung hingga sekarang. Di Partai Amanat Nasional (PAN), Arifin dan Amien Rais sudah mengikat komitmen bekerja sama menjatuhkan Suhartoi. Seraya menyiapkan langkah-langkah strategis membangun kartel politik di era pasca Suharto. Maka sebagai bentuk kerjasama solid Arifin dan Amien Rais di PAN, maka orang kepercayaan Arifin di Medco, Hatta Rajasa, ditanam di jajaran kepengurusan DPP Partai. Mulai dari Ketua Departemen, Sekretaris Jenderal hingga Ketua Umum.

 

Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arifin dengan cerdik menggalang persekutuan dengan sayap NU PPP dari Kelompok Cipete. Saat itu, dan saya kira hingga kini, Kelompok Cipete masih tetap memandang Hamzah Haz sebagai aktor utama dan patron politik utama, setelah wafatnya Kyai Haji Idham Cholid.

Dengan Golkar, tentu saja melalui dua andalannya ketika itu, Marzuki Darusman dan Fahmi Idris. Teman lama Arifin. Dengan Partai Keadilahn yang waktu itu masih dikuasai Nur Mahmudi Ismail, Arifin membangun kerjasama taktis dengan Suripto, mentor PK dan kelak juga PKS, Dengan begitu, terbentuklah kartel politik bertumpu pada koalisi lintas partai yang terdiri dari, PDIP, Golkar, PPP, PAN dan PKS.

 

Adapun Gus Dur dengan mesin politiknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),  nampaknya punya skenario sendiri yang berada di luar skema Kartel Politik. Namun meski pada 1999 berhasil menjegal Megawati yang semula dirancang jadi presiden RI ketiga hasil pemilu 1999, namun pada 2001 berhasil ditumbangkan koalisi lintas partai. Sehingga Mega jadi presiden hingga pemilu 2004.

 

Jelang pilpres pertama 2004, SBY mundur dari kabinet Mega. Menandai pecah kongsinya SBY dari nuklius Angkatan Darat yang dimotori oleh Hendro dan Wiranto. Rupanya, SBY menyadari bahwa dirinya punya modalitas politik yang cukup kuat di akar rumput, untuk mendukung dirinya memenangi pilpres 2004.

 

Ternyata perhitungan politik SBY tepat. Dirinya memenangi pilpres 2004 mengalahkan Megawati. Sehingga otomatis dirinya membangun formasi kekuatan politik tersendiri di dalam Angkatan Darat di luar skema Hendropriyono. Sedangkan dengan jaringan lamanya di nuklius Ginandjar Kartasasmita dan Kartel Politik berbasis koalisi lintas partai, SBY tetap mempertahankannya secara solid. Duduknya Ginandjar sebagai Ketua DPD mengimbangi DPR, membuktikan  bahwa SBY menciptakan keseimbangan politik antara Kartel Politik dan nuklius militer. Sebab meski dengan memisahkan diri dari persekutuannya dengan Mega, namun koordinasi antara SBY dengan dua patron lama-nya Hendro dan Wiranto, tentunya tetap terjalin.

 

Bahkan pada pilpres 2009, SBY semakin kuat dan kokoh. Jaringan Kartel politik lintas partai, dua pentolannya dimasukkan ke lingkar inti pemerintahan SBY. Hatta Rajasa jadi Menko Ekonomi. Ginandjar Kartasasmita jadi anggota Wantimpres. Adapun Kuntoro Mangkusubroto, orang dekat Ginandjar sejak masa kabinet terakhir Suharto, menjadi Ketua UKP4, yang kalau ditelisik kewenangannya, praktis seperti kewenangan seroang perdana menteri. Persekutuan SBY dengan Kartel Politik semakin solid ketika Hatta Rajasa besanan dengan SBY. Ketika salah satu putrid Hatta Rajasa, dipinang oleh Edhy Baskara alias Ibas.

 

Bagaimana dengan konstalasi politik menjelang pilpres 2014? Di sini kolaborasi dua nuklius politik tersebut di atas, masih berlanjut meski belum terlihat di atas permukaan. Jokowi, semakin moncer karir politiknya sejak jadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan akhirnya presiden RI.

 

Sejak awal kiprahnya, Jokowi selalu dalam pantaiuan Hendropriyono, Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, dengan mendapat dukungan sepenuhnya dari alumni Akademi Militer Nasional 1970. Yang mana Luhut Panjaitan termasuk salah satu pentolan dan motor penggeraknya. Bahkan pada perkembangannya, Luhut yang punya talenta sebagai aktor politik, memainkan peran sebagai pemain penghubung antara Kartel Politik dengan nuklius  angkatan darat di bawah kendali Hendropriyono.

 

Antara 2014 hingga paruh pertama 2018 ini, nuklius politik Ginandjar dan Arifin nampaknya masih berjaya dengan membentuk formasi politik tri tunggal Sekeratiat Negara yang dipegang Pratikno, matnan Rektor UGM Yogyakarta, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, oirang kepercayaan Megawati sekaligus representasi dari mata-rantai kartel Politik Ginandjar dan Arifin, maupun KSP yang semula dipegang langsung Luhut Panjaitan namun digantikan oleh Teten Masduki, namun sejatinya tetap Luhutlah yang kendalikan KSP. Sehingga kartel politik yang sejatinya merupakan kolaborasi antara beberapa pengusaha pribumi binaan Orde Baru dengan beberapa politisi sipil yang umumnya eks politisi Golkar. Tetap bisa dipertahankan untuk membangun pengaruh di lingkar dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi.

 

Alhasil, skema hubungan antara Jokowi (istana) dengan dunia luar, maupun antara dunia luar dengan istana, sepenuhnya berada dalam skema dan kendali tritunggal Sekneg, Sekab dan KSP. Yang mana itu berarti penguasaan dan pengaruh ada di tangan kartel politik.

 

Namun pada pertengahan Januari ini, formasi politik kartel politik dan  nuklius politik sipil ini, mulai dinetralisasi manuvernya di lingkar dalam istana. Dengan masuknya Moeldoko, orang dekat SBY dan Hendropriyono maupun Wiranto, menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala KSP.

 

Dengan begitu, KSP yang semula bagian dari trit tunggal KSP-Sekneg-Sekab, sekarang tidak lagi. Alhasil, semua manuver maupun agenda para aktor Kartel Politik yang selama ini menjadi kekuatan tunggal dalam menyetir Jokowi dari balik layer,mulai saat ini harus sepengetahuan dan dalam koordinasi dengan Moeldoko sebagai Ketua KSP baru.

 

Maka Jokowi saat Ini jadi papan catur yang berfungsi sebagai medan Proxy War antara kartel politik yang berbasis nuklius politik rajutan Ginandjar dan Arifin Panigoro versus nuklius politik angkatan darat. Kantor kepresidenan sebagai medan Proxy War antara kedua kubiu I ni ditandai dengan pembagian kekuasaan di lingkar dalam pemeritnahan Jokowi. Moeldoko sebagai Kepala KSP dan Teten Masduki sebagai Koordinator Staf Khusus Presiden.

 

Jokowi sebagai Papan Catur atau Medan Proxy War antara dua nuklius politik itu, sepertinya akan jadi landasan perkembangan dan dinamika politik ke depan, hingga titik kulminasinya. Pilpres 2010.

Hendrajit, redaktur senior.