Ekonom senior Dr Rizal Ramli bersama Ketua Umum Konfederasi Sarikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal saat memberikan keterangan pers mengenai solusi terhadap salah urus tata kelola BPJS di Jalan Tebet Barat Dalam IV, Jakarta Selatan, Rabu (14/11/2018). Menanggapi masalah yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini menjadi sorotan publik. Rizal menjelaskan, bahwa tak heran jika akhirnya Indonesia saat ini mengalami defisit. Menurutnya, jauh sebelumnya sejumlah negara eropa telah melakukan Social Security Sistem (Sistem Jaminan Sosial) terhadap warga negaranya. UU BPJS 2014 dimulai dengan pembiayaan yang tidak memadai (underfunded) dari pemerintah. Diketahui, BPJS Kesehatan disebut mengalami defisit. Masalah ini dipicu kecilnya iuran peserta yang diterima dibandingkan biaya layanan jaminan kesehatan yang dibayarkan. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior Rizal Ramli mengusulkan agar pemerintah menyuntikkan dana untuk menyeselaikan masalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Suntikan dana ini untuk membenahi BPJS yang merugi Rp10,5 triliun hingga akhir tahun ini.

“Struktur anggaran harus diperkuat dengan pemerintah menambahkan suntikan modal Rp20 triliun. Kalau (pemerintah) enggak tau caranya (mendapatkan Rp20 T) dan hitung-hitungannya, tanya Rizal Ramli,” kata Rizal saat jumpa pers di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (14/11).

Selain suntikan dana, untuk menyehatkan BPJS, pemerintah harus merevisi ulang sistem iuran pekerja. Menurut pria dengan sapaan akrab RR ini mengatakan, besaran iuran pekerja bisa disesuaikan dengan pendapatan pekerja itu sendiri.

“Misalnya, penghasilan dengan upah Rp5 juta diberi rate iuran 1,5 persen. Pemasukan yang di angka Rp5 juta-Rp10 juta dibebani 2 persen misalnya dan begitu seterusnya,” kata dia.

“Sementara yang di bawah UMR tidak usah dikenakan iuran alias gratis. Jadi bukan satu angka iuran buat semuanya, tapi tergantung pendapatan,” lanjut mantan Menko Maritim itu.

Selanjutnya iuran korporasi diusulkan naik sebanyak 6 persen. Tantangannya pemerintah harus bisa menyepakati angka ini dengan perusahaan yang berkemungkinan bakal berteriak. “Kalau itu kita lakukan maka struktur keuangan lebih sehat dalam jangka panjang,” terang RR.

Kemudian, pemerintah harus melakukan penyesuaian pembayaran BPJS Kesehatan berdasarkan penyakit dan kemampuan membayar. Berdasarkan data yang ia sebutkan, BPJS sejauh ini sudah mengeluarkan dana sebesar Rp6,67 triliun atau sekitar 52 persen untuk membiayai penyakit Jantung.

Penyakit jantung dianggap Rizal sebagai penyakit kelompok menengah. Di tambah lagi penyakit jantung biasanya banyak dipicu dengan rokok. Untuk itu, Rizal menyarankan ada peraturan baru terkait pembiayaan penyakit kronis berdasarkan penghasilan pasien.

“Penyakit kronis kan biasanya diidap orang kaya, jadi harus ada top up dong buat orang kaya yang menggunakan BPJS. Berbeda dengan yang miskin penyakit kronis kalau bisa dikurangi atau kalau perlu tidak usah bayar,” beber dia.

Terakhir, dia meminta agar pemerintah membenahi pelayanan yang terkomputerisasi. Pemerintah seharusnya sudah memiliki data yang pakem dan tidak menyusahkan masyarakat saat menggunakan BPJS.

“Jadi tidak ada itu pasien disuruh pulang lagi hanya untuk mengambil KK atau KTP. Kan semua sudah terkomputerisasi. Masyarakat jangan dibikin antre, apalagi mereka kebanyakan orangtua,” kata dia.

“Jangan dong untuk rakyat miskin dibikin ribet. kalau ada 11 tahapan cukup 3 tahapan aja,” tegas dia.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan anggaran BPJS yang defisit berdampak kepada perlakuan rumah sakit swasta.

Kebanyakan dari mereka, kata Iqbal, cenderung mengulur-ulur waktu agar rumah sakit swasta bisa mendapatkan pencairan dana dari pemerintah.

“Misalnya operasi disuruh tunggu dua bulan lagi atau sakit tipes diulur-ulur juga supaya apa? Ya supaya rumah sakit dapat pencairan dulu,” kata Iqbal.

Selanjutnya, ada peraturan dari pemerintah yang membikin rumah sakit swasta mitra BPJS putar otak mendapatkan dana. Salah satunya adalah program pemerintah mensubsidi obat ke rumah sakit pemerintah, sementara rumah sakit swasta tidak mendapatkan perilaku yang sama.

“Bayangkan, rumah sakit pemerintah disubsidi obat nih, swastannya enggak. Tapi keduanya mendapatkan jumlah pembiayaan yang sama. Jadi rumah sakti swasta selalu memiliki siasat,” terang dia.

Terakhir, Said sepakat dengan Rizal terkait penambahan iuran bagi pekerja. Dia mengatakan angka iuran sekitar RP19 ribu hingga Rp23 ribuan tidak mencukupi pembiayaan BPJS. “Ini tidak sesuailah dengan standar pelayanan. Tapi dengan tanda kutip penaikan dilakukan setelah ada perbaikan ekonomi,” tandasnya.

 

Laporan : Fadlan Syiam Butho

Artikel ini ditulis oleh: