Pekerja mengambil telur di kandang ayam petelur Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (4/4). Akibat cuaca tidak menentu dan hujan hasil produksi telur menurun, dari biasanya menghasilkan 15 peti saat ini hanya mampu memperoleh 12 peti telur atau 4,5 kuital telur per harinya dengan harga jual Rp17.000 per kilogram. Para peternak berharap pemerintah dapat menstabilkan harga telur dipasaran serta mempunyai harga standar. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/kye/17

Jakarrta, Aktual.com – Kebijakan Pemerintah meminjam jagung dari Feedmill (perusahaan pakan ternak besar) untuk memenuhi kebutuhan jagung pakan peternak ayam layer mandiri dianggap sangat membantu peternak.

Menurut kalangan peternak, sikap Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian patut diapresiasi.

“Terus terang saya memuji, khususnya ke Ditjen PKH, Pak Dirjen (Ketut) dan jajarannya. Betul-betul luar biasa untuk peternak dalam mengadakan jagung,” ujar Awan Sastrawijaya, peternak ayam petelur di Bandung, Jawa Barat, Rabu (21/11).

Padahal menurut salah satu Pengurus Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional (PPN) ini secara tugas pokok dan fungsi bukan tugasnya Ditjen PKH. Tapi mereka yang turun mencari jagung, bahkan mencari pinjaman.

Terkait kebijakan itu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan Sugiono menjelaskan, langkah meminjam jagung pakan dari feedmill diambil sambil menunggu impor jagung sebesar 100 ribu ton. Apabila jagung impor tiba, Kementan akan mengembalikan pinjaman.

“Jagung pinjaman ini tidak disalurkan ke seluruh lapisan peternak. Hanya untuk peternak kecil dan mandiri,” ujar Sugiono dalam keterangan media yang diterima, Rabu (21/11).

Pemerintah mengambil keputusan ini sebagai upaya penyelamatan peternak ayam mandiri serta menjaga stabilitas harga ayam dan telur.

Hal ini pun diakui Ketua Presidium Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi. Kata dia, apabila tidak segera diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berdampak pada harga telur di pasaran pada bulan depan.

“Sebab, biaya jagung berkontribusi 50 persen dari total biaya produksi pakan. Makanya kami harap jagung impor sebaiknya datang paling telat akhir tahun,” harap Ki Musbar.

Sebut dia, jika impor jagung tiba di Indonesia pada awal 2019, bisa tidak terserap oleh peternak mandiri karena bersamaan dengan panen raya, di mana harga jagung di petani lebih murah.

Mengenai impor jagung ini, menurut Dekan Fakultas Pertanian IPB Suwardi dilihat dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi petani mungkin sudah mencukupi. Tetapi masih ada faktor lain.

“Yang mungkin saja itu belum bisa dipasok dari produksi jagung setiap saat sesuai jadwal untuk keperluan industri,” jelas Suwardi.

Dengan begitu, imbuh Suwardi, merupakan kategori kebutuhan khusus, sehingga mungkin diperlukan kebijakan impor jagung. Apalagi jika ditambah dengan kendala distribusi yang memerlukan waktu membuat harga produksi lebih mahal dari impor.

Untuk stok jagung dalam negeri sendiri mulai melimpah, karena saat ini di beberapa daerah mulai ada panen jagung. Akhir pekan lalu Kementan melakukan safari untuk menyaksikan panen jagung secara serentak di 7 kabupaten di Jawa Timur (Tuban, Lamongan, Lumajang, Jember, Kediri, Mojokerto dan Pasuruan).

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi menegaskan, di tengah panen ini stok jagung akan melimpah atau surplus. Untuk itu perlu ada distribusi jagung dengan menugaskan Bulog ataupun BKP.

“Tahun depan ide ini akan diajukan karena saat ini masih dalam tahap perundingan,” tambah Agung.

Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) diakuinya tidak diperlukan karena anggaran yang digunakan merupakan milik Kementan. Sehingga Permentan pun tidak diperlukan karena anggaran distribusi ini merupakan hal emergency.

“Hanya pada saat emergency saja. Kalau nggak ada masalah, ya, nggak usah dikeluarin uang,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: