Dari sisi penawaran, beberapa sektor cukup prospektif di tahun 2019 meskipun pertumbuhannya diprediksi sedikit melambat, di antaranya, sektor perkebunan, perdagangan besar dan eceran, informasi dan komunikasi, konstruksi, jasa kesehatan, penyediaan akomodasi dan restoran, dan transportasi dan pergudangan. Untuk sektor manufaktur, industri makanan dan minuman, industri kimia dan farmasi, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit dan alas kaki, dan industri alat angkutan berpotensi tumbuh cukup baik tahun depan.

Melemahnya demand dari negara-negara importir produk manufaktur Indonesia, berlanjutnya tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, serta potensi kenaikan harga BBM masih menjadi faktor penekan kinerja manufaktur di tahun 2019. Meski demikian, konsumsi dalam negeri yang masih relatif stabil membuka ruang ekspansi bagi sektor ini tahun depan walaupun relatif marjinal. Sepanjang tahun 2018, purchasing managers index (PMI) menunjukkan ekspansi secara berturut-turut di sektor manufaktur sejak bulan Februari, tercermin dari nilai PMI yang berada di atas 50. Ekspansi sepanjang tahun ini didorong oleh peningkatan demand di dalam negeri, sebaliknya permintaan dari luar negeri justru mengalami penurunan sejak awal tahun. Namun demikian, meningkatnya tekanan terhadap Rupiah dalam beberapa bulan terakhir telah mendorong kenaikan biaya produksi dan menekan tingkat profitabilitas sektor manufaktur. Hal ini tercermin dari nilai PMI yang menunjukkan tren penurunan sejak bulan September. Meredanya tekanan akibat pelemahan Rupiah dan harga minyak pada bulan November berpotensi memperbaiki kinerja manufaktur paling tidak secara temporer, tetapi potensi tekanan dari dua faktor tersebut belum selesai hingga tahun 2019.

 

Di sisi fiskal, CORE meyakini kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB masih cukup kuat di tahun depan, dengan pertumbuhan di kisaran 5%, atau lebih kurang setara dengan pertumbuhan di tahun 2018. Beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan belanja pemerintah tahun depan antara lain peningkatan belanja kementerian/lembaga yang berhubungan penyelenggaraan pemilihan umum, peningkatan belanja sosial, serta rencana kenaikan gaji aparat sipil negara. Pertumbuhan belanja pemerintah ini ditunjang oleh potensi meningkatnya penerimaan pajak maupun non pajak yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi domestik. Potensi kenaikan harga minyak diperkirakan juga dapat memberikan windfall terhadap penerimaan APBN tahun depan.

Namun demikian, shortfall pajak di tahun 2019 berpotensi lebih tinggi dibanding tahun ini karena target penerimaan perpajakan yang meningkat 10%. Peningkatan tersebut tidak hanya lebih tinggi dibandingkan peningkatan target penerimaan perpajakan di tahun 2018 yang mencapai 8%, tetapi juga lebih tinggi dibanding potensi pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi tahun depan yang berada di kisaran 8 – 9%. Padahal, asumsi makro yang ditetapkan pada APBN 2019 cenderung lebih realistis dibandingkan dengan asumsi makro pada APBN 2018.

Jatuh tempo utang pemerintah di tahun 2019 yang mencapai Rp 254 triliun memang lebih rendah dibanding tahun ini yang mencapai Rp 347 triliun. Akan tetapi, risiko utang cenderung meningkat sejalan dengan masih berlanjutnya tekanan global, khususnya potensi peningkatan suku bunga acuan the Fed. Selain masih berpotensi mendorong pelemahan nilai tukar Rupiah, tekanan global juga berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Padahal imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang saat ini sudah mencapai 8,62% (tenor 10 tahun) termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara emerging markets.

Secara umum, CORE memandang pemerintah belum memanfaatkan instrumen fiskal secara optimal untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, manakala Indonesia dihadapkan pada permasalahan defisit transaksi berjalan, instrumen fiskal seperti pajak, subsidi, dll belum digunakan untuk penguatan industri manufaktur nasional. Belanja insentif untuk industri manufaktur hanya tumbuh 2% selama tahun 2016 – 2017. Demikian pula Insentif pajak untuk peningkatan daya saing, seperti untuk mendorong penelitian dan pengembangan (litbang), baru terbatas pada pemberian tax allowance. Padahal, insentif litbang yang diberikan negara-negara tetangga lebih beragam, mulai dari tax holiday, loan, hingga hibah.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter selama tahun 2018 telah melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 175 basis poin untuk mengantisipasi dinamika global dan menahan laju pelemahan Rupiah. Suku bunga acuan Bank Indonesia pada akhir tahun diperkirakan berada di level 6,0%, sementara nilai tukar di kisaran 14.600 – 14.800. Pada Tahun 2019, dengan kondisi global yang masih diliputi ketidak pastian karena perang dagang, harga minyak yang cenderung meningkat, dan ketatnya likuiditas global, sementara di sisi domestik perekonomian nasional masih diwarnai oleh defisit transaksi berjalan, nilai tukar Rupiah diperkirakan akan terus dalam tekanan pelemahan.

[pdfjs-viewer url=”http%3A%2F%2Fwww.aktual.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F12%2FIndonesia-Diantara-Evolusi-Ekonomi-2019-2020_AktualCom-10-12-2018.pdf” viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka