Core: 2019 Tahun Pembuktian “Jokowi Effects”

Ekonom dari Center Of Reform on Economic (CORE) meyakini dinamika ekonomi global yang menekan pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 2018 diprediksi masih akan berlanjut pada tahun 2019. Tekanan eksternal ini membuat upaya merealisasikan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih baik di tahun 2019 menjadi semakin menantang. Padahal, tahun 2019 merupakan tahun yang krusial karena sejatinya menjadi tahun terakhir bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk membuktikan janji dan pencapaian target pembangunan sebagaimana yang disampaikan pada awal masa pemerintahan. Presiden Jokowi hanya punya kurang dari satu tahun lagi untuk membuktikan “Jokowi Effects” benar-benar ada dengan membuat perekonomian Indonesia tumbuh tidak biasa-biasa saja.

“Meskipun sejumlah indikator ekonomi seperti tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka, rasio gini serta tingkat inflasi, menunjukkan perbaikan yang cukup berarti dalam empat tahun terakhir, tak dapat dipungkiri bahwa sebagian capaian di bidang ekonomi hingga tahun 2018 masih meleset dari target yang dijanjikan. Yang paling kentara adalah realisasi pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah target 7%,”  ujar Muhammad Faisal, Direktur Core Indonesia.

Menurutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, peningkatan harga minyak, pengetatan moneter, serta ketidakpastian yang diciptakan oleh perang dagang yang terjadi pada tahun ini telah memberikan dampak pada perekonomian nasional, di antaranya adalah pelebaran defisit transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Dengan berlanjutnya tekanan-tekanan eksternal di tahun 2019, permasalahan ekonomi yang sama diprediksi masih akan membayang-bayangi perekonomian Indonesia tahun depan. Daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik di tahun 2019 diprediksi masih terbatas. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa diperkirakan akan mengalami perlambatan di tahun depan. Masih berlanjutnya efek perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dunia tahun depan.

“Perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang terbesar berpotensi menekan demand terhadap impor negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas andalan Indonesia seperti kelapa sawit, batubara dan karet, cenderung melemah. Ditambah dengan efek kebijakan sejumlah negara-negara tujuan ekspor utama – seperti AS, Uni Eropa dan India – yang masih cenderung protektif, pertumbuhan ekspor Indonesia tahun depan berpotensi terus tertekan,” tambahnya.

Gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak tahun 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7%, sepertiga dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 10,3%. Ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22%, tapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor pada periode yang sama tahun 2017.

Sedangkan pelemahan nilai tukar Rupiah nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor. Wajar saja, mengingat ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor komoditas yang lebih banyak terpengaruh oleh harga di pasar global. Padahal harga sejumlah komoditas ekspor andalan Indonesia terutama kelapa sawit dan karet di tahun 2018 mengalami penurunan signifikan. Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat lagi, yakni hanya mencapai 5% berbanding ekspor komoditas yang mencapai 22% sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini (year on year).

“Manakala pertumbuhan ekspor masih tertekan, akselerasi impor yang terjadi pada tahun ini nampaknya masih akan sukar untuk dikendalikan di tahun depan. Pasalnya, dua faktor eksternal pendorong utama percepatan impor, yakni pelemahan Rupiah dan peningkatan harga minyak dunia, masih eksis di tahun 2019. Meskipun dalam sebulan terakhir harga minyak melemah akibat kebijakan dispensasi AS terhadap ekspor minyak Iran, potensi untuk kembali meningkat di tahun depan sangat besar sejalan dengan rencana negara-negara OPEC, khususnya Saudi, serta Rusia untuk melakukan production cut tahun depan,” terangnya.

Begitu pula tekanan terhadap Rupiah juga diprediksi masih berlanjut, meskipun relatif lebih jinak dibanding tahun ini. Sementara pelemahan Rupiah tidak banyak berdampak pada penguatan ekspor, pada sisi impor justru memiliki daya dorong yang sangat signifikan. Pasalnya, berbeda dengan struktur ekspor yang didominasi komoditas, struktur impor sangat didominasi oleh produk manufaktur, baik dalam bentuk barang konsumsi, barang modal, maupun bahan baku dan penolong industri.

Dalam kondisi defisit perdagangan yang masih akan sulit dijinakkan, konsumsi rumah tangga dan investasi mau tidak mau menjadi krusial untuk dapat mencegah perlambatan ekonomi tahun depan. Secara kumulatif sampai dengan triwulan ketiga tahun 2019, penanaman modal tetap bruto (PMTB) memang masih tumbuh 6,91%, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2017 yang mencapai 5,75%. Sayangnya, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan, khususnya penanaman modal asing (PMA). Data BKPM menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar -13% dan -20%.

“Selain faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, momentum tahun politik di dalam negeri juga cenderung membuat para pelaku usaha melakukan wait and see mode. Sebagaimana terjadi pada tahun 2009 dan 2014, pertumbuhan investasi umumnya mengalami perlambatan pada tahun-tahun pemilu. Beberapa permasalahan teknis terkait dengan pengurusan perizinan seperti penerapan sistem online single submission yang belum terselesaikan juga berpotensi menahan laju investasi tahun depan,” terangnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka