Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim penambahan utang bisa dikendalikan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Tak satupun negara di dunia yang tidak mempunyai utang, karena utang merupakan salah satu instrumen keuangan. Bahkan beberapa negara rela mencari utang di pasar internasional untuk membangun infrastruktur, tak terkecuali Indonesia. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) sepertinya tak banyak pilihan untuk tidak berutang. Pasalnya, pembangunan infrastruktur akan mengalami perlambatan tanpa disokong utang. Harapannya, utang yang makin besar mesti diimbangi dengan pembangunan yang progresif, meskipun tidak ada jaminan dengan membengkaknya utang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Karena memang pada faktanya di beberapa negara utang dengan modus pembangunan infrastruktur dapat disalahgunakan.

Terlepas daripada itu, grafik utang pemerintah Indonesia terlihat meningkat secara agresif sejak tahun 2015. Pada tahun tersebut melonjak tajam sebesar Rp556,35 triliun yakni dari posisi Rp3.165,13 triliun ke Rp3.466,96 triliun. Peningkatan utang ini terus berlanjut hingga Februari 2018 utang pemerintah berada pada posisi Rp4.034,8 triliun.

Kementerian Keuangan dalam APBN 2018, menyatakan Total Utang Pemerintah mencapai Rp4.772 triliun. Namun jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017 sudah mencapai Rp3.128 triliun, terdiri SBN denominasi Rupiah Rp2.279 triliun, dan dalam denominasi Valas Rp849 triliun. Sementara posisi Utang Luar Negeri Pemerintah (2017) telah mencapai US$177 miliar (kurs 13.500 sekitar Rp2.389 triliun).

Besarnya utang ini menjadi kekhawatiran dari banyak kalangan, karena tentunya cicilan dan bunga akan menjadi beban bagi Anggaran Pendapadan dan Belanja Negara (APBN) dan menyempitnya ruang fiskal. Terlebih mengingat preseden buruk krisis yang dialami Indonesia pada 1997-1998, tak berlebihan jika beberapa kalangan mengkhawatirkan Indonesia kembali terperosok ke dalam pusaran krisis.

Sekilas merefleksikan krisis 1997-1998, siapa sangka kala itu Indonesia dengan ekonomi yang kuat, secara drastis terjerembap pada krisis ekonomi hingga berimbas pada krisis sosial dan politik. Krisis 1997 diawali oleh krisis keuangan Asia. Ketika itu pemerintah Thailand yang sedang memikul utang luar negeri yang besar, mengambil kebijakan pengembangan mata uang Baht setelah mengalami masalah devisa. Kebijakan moneter ini bertujuan merangsang pendapatan ekspor, namun upaya itu ternyata gagal hingga dampak keuangan itu merembet ke negara-negara Asia lainnya lantaran investor asing kehilangan kepercayaan di pasar asia.

Namun meskipun kawasan Asia kala itu telah menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para investor asing masih menaruh percaya pada Indonesia akan kemampuan menghadapi potensi goncangan yang ada. Terlebih Indonesia mempunyai pengalaman mampu keluar dari ancaman krisis pada 1970-an dan 1980-an. Namun ternyata kepercayaan diri rezim Soeharto yang telah mengelola negara dalam kurun waktu beberapa dekade itu, malah menjadi negara yang paling terpukul, karena bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi, namun juga menimbulkan gejolak politik dan sosial.

Selanjutnya, # Utang Negara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka