Petani melakukan panen padi saat musim panen di Kecamatan Mangku Bumi, Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (3/9). Pada musim panen sekarang ini, para petani di Tasikmalaya mengeluhkan turunnya harga gabah kering dari sebelumnya Rp.490.000 per kuintal, menjadi Rp.390.000-Rp.400.000 per kuintal. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang telah memimpin 2,5 tahun ini, tak ada kebijakan reforma agraria yang signifikan. Tak seperti yang kerap didengungkannya saat kampanye dulu.

Hanya ada kebijakan redistribusi sembilan juta hektar lahan satu-satunya manifestasi dari usaha reforma tersebut. Itu pun secara orientasi masih terlalu kabur dan sangat tak jelas.

“Karena dari sisi kebijakan, redistribusi 9 juta hektar itu tergolong sebagai kebijakan incremental, yakni hanya melanjutkan dari kebijakan sebelumnya di era SBY. Di mana dari segi jumlah tanah tidak jauh berbeda dari target di era sebelumnya. Ini sangat disayangkan,” kata Bhima, di Jakarta, Kamis (4/5).

Sebelumnya, pemerintah menjanjikan pembagian lahan pertanian seluas 9 juta hektar kepada masyarakat. Dengan reformasi agraria melalui redistribusi lahan pertanian ini dilakukan karena penguasaan lahan di Indonesia hanya mencapai sekitar 0,8 hektar lahan per orang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyediakan 4,1 juta hektar untuk program reforma agraria. Selain itu, pemerintah juga menjanjikan konversi hutan seluas 13,1 juta hektar menjadi lahan pertanian.

Menurut Bhima, persoalan redistribusi lahan memang bukan persoalan sederhana. Srhingga harus ada payung hukum yang jelas mengenai konversi lahan dan pelepasan kawasan hutan yang akan dibagikan kepada masyarakat.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka