Perlu dipahami, berdasarkan produk yang dihasilkan, kilang pengolahan gas di Indonesia terbagi menjadi kilang LNG dan kilang LPG. Kilang LNG dan LPG ada yang mengikuti pola hulu dan pola hilir. Kilang LNG dan LPG pola hulu merupakan lanjutan kegiatan pengolahan lapangan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sedangkan kilang LNG dan LPG pola hilir merupakan kilang yang dimiliki oleh Badan Usaha yang telah memiliki Izin Usaha Pengolahan Gas Bumi yang diterbitkan pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2005.

Sebagai salah satu upaya mencukupi kebutuhan Elpiji, pemerintah berusaha membangun kilang tersebut. Tentu saja pembangunan kilang membuthkan dana yang cukup besar dan akan menyulitkan keuangan pemerintah, sedangkan untuk badan usaha mesti tergantung dengan perhitungan nilai keekonomian. Alhasil hingga tahun 2016, LPG hanya dapat dihasilkan dari kilang minyak RU II Dumai, RU III Plaju, RU IV Balongan, RU V Balikpapan, dan RU VI Cilacap PT Pertamina (Persero).  Beberapa perusahaan yang termasuk dalam kilang LPG pola hulu adalah PT Badak NGL (Bontang, Kaltim), PT Chevron Indonesia (Tanjung Santan, Kaltim), PT Petrochina (Arar, Papua), PT Petrochina (Jabung, Jambi), PT Chonoco Philips (Belanak, Natuna), PT Hess (Ujung Pangkah, Jatim). Selanjutnya perusahaan yang termasuk dalam kilang LPG pola hilir yang saat ini masih beroperasi adalah PT Titis Sampurna, PT Sumber Daya Kelola plant Losarang dan Tugu Barat, PT Gasuma Federal Indonesia, PT Perta Samtan Gas, PT Bina Bangun Wibawa Mukti, PT Yudhistira Energi, PT Surya Esa Perkasa, dan PT Tuban LPG Indonesia.

Dengan demikaian kapasitas kilang LPG pola hulu dan LPG pola hilir hingga 2016 sebesar 4,49 million metric tonnes per annum (MMTPA). Sedangkan perbandingan antara konsumsi dengan impor sejak 2012 hingga 2016, diketahui naik dari tahun ke tahun. Impor LPG tahun 2012 sebesar 2.573 MMTPA dari total konsumsi 5.058 MMTPA. Pada tahun berikutnya impor 3.229, lalu 3.604, selanjutnya 4.308 dan pada 2016 impor 4.512 dari besaran konsumsi 6.680 MMTPA.

Khususnya LPG subsidi dengan tabung 3 kg, realisasinya juga membengkak dari tahun ke tahun. Dari tahun 2013 hingga 2017 realisasi LPG 3 kg sebanyak 4.403, 4.994, 5.566, 6.004  dan 6.306 MMTPA. Sedangkan pada tahun 2018 ini, direncanakan dalam APBN sebanyak 6.450 MMTPA dengan anggaran subsidi Rp41,56 triliun, atau mengalami kenaikan Rp210 miliar dibanding tahun sebelumnya Rp41,35 triliun. Dengan angka tersebut,  sangat terlihat jelas bahwa peningkatan kuota subsidi LPG berbanding lurus dengan membengkaknya kuota impor LPG dari tahun ke tahun.

Konsumsi Meningkat Melebihi Pagu APBN 2018

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Eka