Jokowi Gagal Dilihat dari RPJMN 2015-2019

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan untuk mengevaluasi capaian Pemerintah dibidang ekonomi dasarnya adalah Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang diturunkan dari Nawacita. RPJMN 2015-2019 ditetapkan melalui Perpres No.2/2015 tanggal 8 Januari 2015, sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun, serta merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden hasil Pemilihan Umum tahun 2014. Disitu terdapata penjelasan tentang berbagai sasaran ekonomi nasional, yang bahkan disajikan juga berupa tabel berisi 15 indikator ekonomi sebagai sasaran.

RPJMN 2015-2019 jokowi
RPJMN 2015-2019 jokowi

Di dalam RPJMN itu hampir sebagian besar target ekonomi tidak tercapai, kecuali inflasi yang relatif lebih terkendali. Pertumbuhan ekonomi hingga 2019 rata-rata 7%, nampaknya sulit tercapai apalagi di 2019 angka targetnya nya 8%. Realisasi pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun ini hanya 5%.

“Pemerintah pada awalnya terlalu overshoot dengan mengesampingkan fakta bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas. Baru di ujung 2017 harga minyak kembali naik, sayangnya kali ini tidak diikuti oleh harga-harga komoditas unggulan misalnya sawit dan karet,” jelas Bhima.

Penyebab stagnasi pertumbuhan ekonomi juga karena industri manufakturnya terus menurun porsi terhadap PDB. Di kuartal II 2018 bahkan sempat dibawah 20%, ini cukup menghawatirkan karena industri manufaktur menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dan multiplier effectnya tinggi kesektor lainnya. Selain itu, pada era Jokowi, terlalu cepat meloncat ke sektor jasa, meninggalkan industri yang makin turun. Artinya poin produktivitas dan daya saing masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh tim ekonomi Jokowi.

“Dalam Indeks Daya Saing Global terbaru 2018, posisi Indonesia ada di 45. Dibandingkan Negara tetangga ASEAN Malaysia menduduki posisi 25 teratas, thailand 38, dan singapura peringkat 2,” jelasnya.

Selain itu, daya saing di pasar internasional juga bisa dibandingkan dari target pertumbuhan ekspor nonmigas RPJMN yakni 14,3% di 2019. Realisasinya Jan-Sept 2018 baru tumbuh 9,29%. Untuk mencapai 14% butuh kerja ekstra, ditengah proteksi dagang yang dilakukan negara mitra seperti India dan AS. Jadi targetnya masih overshoot. Bisa dikatakan sepanjang era Jokowi, ekspor nya melempem.

Indikator lain adalah nilai tukar target RPJMN 12.000 per USD tahun 2019. Realisasinya saat ini menyentuh 15.200, dan pelemahan rupiah tahun depan diperkirakan akan kembali berlanjut. Ada peran faktor eksternal seperti perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan instabilitas geopolitik.

“Secara fundamental memang ada hal yang harus jadi evaluasi. Ddefisit transaksi berjalan berada di 3% pada Q2 2018 sehingga makin bergantung pada pembiayaan portfolio asing untuk mencukupi kebutuhan valas. Disisi lain dari awal tahun 2018, dana asing yang keluar dari bursa saham mencapai Rp56 triliun. Kondisi perfect storm atau tekanan hebat ini, bukan tidak mungkin makin menggerus cadangan devisa kedepannya,” terangnya.

Menurut Bhima, solusi menghadapi pelemahan kurs rupiah dalam 1 tahun terakhir adalah dengan menekan Current Acount Defisit (CAD) dengan pengendalian barang impor yang paling besar kontribusinya seperti besi baja, mesin, peralatan listrik dan plastik. Pemerintah bisa memulai dengan perluasan kenaikan bea masuk 10-25%.

“Kedua, melakukan peningkatan produksi migas dalam negeri untk tekan defisit migas. Kemudian dari sisi moneter BI bisa naikan bunga acuan lebih tinggi mengantisipasi agresifnya Fed rate,” jelasnya.

Analis Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, saat diskusi Aktual Forum dengan tema Nasib Perusahaan “Plat Merah” Di Bawah Kebijakan Rini Soemarno di Jakarta, Minggu (13/5/18). Perusahaan BUMN seharusnya bisa menjadi pengerak ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Seperti China, dulu BUMN motornya bibarengi swasta, tapi Indonesia terbalik, dengan segala kelebihan yg terjadi, BUMN kita malah jadi faktor yang memperlambat ekonomi, karena jadi alat kekuasaan dan pengelolaannya tidak professional. AKTUAL/Tino Oktaviano

Selain itu, harus adanya Kurs preferensial yang dijamin BI untuk memulangkan devisa hasil ekspor. Terakhir, turunkan pungutan ekspor CPO dari 50 usd per ton menjadi 20 usd per ton dengan harapan daya saing sawit di pasar internasional bisa naik.

Indikator inflasi patut diapresiasi, meskipun disumbang juga oleh turunnya harga minyak dalam 3 tahun pertama Jokowi JK. Adanya satgas pangan, pembangunan infrastruktur berkorelasi dengan terjaganya harga kebutuhan pokok khususnya harga pangan yang mengalami deflasi dalam 2 bulan terakhir yakni Agustus, September. Target RPJMN inflasi ada di 3,5% cukup realistis.

“Indikator kesejahteraan, misalnya kemiskinan ditargetkan 7-8% di 2019 agak mustahil bisa tercapai meskipun tingkat kemiskinan di data terakhir BPS bisa ditekan hingga 9,8%. Upaya Pemerintah meningkatkan jumlah penerima PKH, reforma agraria, dana desa, dan pembangunan infrastruktur penting tapi hasilnya masih membutuhkan waktu,” jelasnya.

Terkait tingkat pengangguran di 2019 ditargetkan 4-5%, ada upaya dari Pemerintah untuk ciptakan lapangan kerja terutama disektor jasa kemasyarakatan (termasuk dana desa), jasa transportasi dan perdagangan.

“Pengangguran terbuka per Februari 2018 mencapai 5,13%. Masih bisa dikejar untuk turun ke 5% asalkan pemerintah konsisten mendorong sektor industri, pertanian dan ekonomi digital,” jelasnya.

Dari penilaian atas kinerja dapat dilakukan dari data realisasi hingga Oktober tahun 2018, bisa ditambah dengan proyeksi berdasar dinamika terkini untuk tahun 2019 terlihat bahwa hanya satu sasaran RPJM yang tercapai, yaitu tingkat inflasi, satu sasaran yang hampir tercapai, yaitu tingkat pengangguran. Sedangkan 13 Sasaran lainnya tidak tercapai, beberapa diantaranya meleset jauh, bahkan ada yang memburuk sehingga secara umum dapat dikatakan TIDAK TERCAPAI. Apalagi melihat target pertumbuhan ekonomi dari 5.1 diproyeksikan menjadi 8.0 persen sangat jauh api dari panggang. Pertumbuhan ekonomi hanya berkisar di angka 5,1-5,5 persen.

Ekonom yang juga merupakan Anggota Pokja Kesinambungan Fiskal Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) Awalil Rizky mengungkapkan menurut Buku II RPJMN halaman 3-82, Kebijakan moneter akan tetap diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi dan penurunan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat serta kebijakan suku bunga dan stabilisasi nilai tukar sesuai fundamentalnya.  Namun, target nilai tukar nominal (Rp/USD) disebutkan dalam buku I (halaman 4-16) dan buku II (halaman 3-63) sebagai berikut: 12.200 (2015), 12.150 (2016), 12.100 (2017), 12.050 (2018), dan 12.000 (2019). Dengan kata lain, targetnya mempertahankan nilai tukar rupiah selama lima tahun pada kisaran Rp12.000 per USD. Sedangkan realisasinya kini, pada Oktober 2018, kurs di kisaran Rp15.200.

Dalam Buku I RPJMN halaman 4-14, Sejalan dengan itu posisi cadangan devisa diperkirakan terus meningkat dari USD119,9 miliar pada tahun 2015, menjadi USD156,3 miliar pada tahun 2019. Namun realisasi posisi cadangan devisa tiap akhir tahun meski meningkat, tidak pernah mencapai target APBN. Bahkan, selama tahun 2018 makin merosot hingga 30 September 2018 menjadi sebesar USD114,8 miliar. Bahkan, lebih rendah atau tak mencapai target RPJMN tahun 2015. Dengan dinamika ekonomi belakangan ini, target pada tahun 2019 sebesar 156,3 miliar USD nyaris mustahil tercapai.

Buku I RPJMN hal 4-14 menyebutkan Sepanjang tahun 2015 – 2019, defisit anggaran akan menurun dan mencapai 1,0 persen PDB pada tahun 2019. Namun Realisasi belanja selalu melebihi pendapatan dengan nilai yang makin membesar membuat defisit anggaran meningkat secara nominal. Kecenderungan juga meningkat jika dilihat dari rasio defisit atas PDB. Realisasinya pada tahun 2017 adalah 2,57%. Pada tahun 2018 dan 2019 sedang diupayakan untuk sedikit menurun, namun nyaris mustahil mencapai target 1%.

Selisih kurang dari realisasi tahun 2017 adalah 1,17% (-2,57% dibandingkan -1,40%), secara nominal sekitar Rp160 triliun. Sedangkan Tax Ratio justeru turun menjadi di kisaran 11% dibanding target 16%.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka