Tunda Proyek Boros Dolar

Pengamat ekonomi Shanti Ramchand Shamdasani menilai pemerintah perlu menunda pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang masih dalam daftar perencanaan (pipeline) sehingga dananya bisa digunakan untuk menstabilkan rupiah.

“Saya usulkan, proyek-proyek yang tadinya sudah pipeline, belum dilaksanakan dan masih bisa dihentikan, dihentikan dulu. Uangnya digunakan untuk mengamankan rupiah,” kata Shanti.

Menurut Shanti, yang juga pakar perdagangan internasional itu, pembangunan infrastruktur yang digenjot oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama empat tahun terakhir, memang akan sangat bermanfaat pada masa mendatang terutama dalam menghadapi era ekonomi digital.

Namun, lanjutnya, pembangunan proyek-proyek infrastruktur tersebut harus diakui juga membuat ekonomi Indonesia mengalami ‘overheating’ atau kondisi di mana kapasitas ekonomi tidak mampu lagi mengimbangi pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.

“Infrastruktur yang dibangun kali ini akan berguna untuk masa depan, tapi karena sangat cepat, saya juga merasa bahwa pemerintahan Jokowi harus slowdown dulu. Reserved cash yang ada di BI kita pakai dulu untuk talangi dolar. Misalnya proyek PLN yang katanya mau dibatalkan atau ditunda dulu, itu saya rasa sangat bijaksana,” kata Shanti.

 

Rupiah Melemah Tanda Ekonomi Jokowi Lemah

Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tony Prasetyantono menilai, melemahnya rupiah terhadap dolar AS dalam tiga hingga empat bulan terakhir disebabkan kombinasi faktor global dan masalah domestik.

“Jadi rupiah melemah karena kombinasi menguatnya Amerika Serikat dan memang harus diakui ada beberapa kuda-kuda ekonomi kita lemah,” katanya di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (27/10).

Rupiah, target dan realisasi selalu melenceng (Paparan Awalil)
Rupiah, target dan realisasi selalu melenceng (Paparan Awalil)

Menurut Tony, menguatnya perekonomian AS memengaruhi mata uang hampir di seluruh negara di dunia. Nilai tukar di banyak negara, termasuk Indonesia mengalami pelemahan seiring semakin menguatnya dolar AS. Nilai tukar rupiah sendiri mengalami depresiasi hingga 12 persen, yang juga dipengaruhi oleh krisis di sejumlah negara seperti Turki dan Argentina. Faktor-faktor eksternal tersebut memang memengaruhi aliran modal asing yang kemudian berdampak terhadap rupiah.

Kendati demikian, lanjut Tony, tidak dapat dipungkiri pelemahan Rupiah juga tak lepas dari masalah ekonomi dalam negeri terutama soal defisit neraca transaksi berjalan atau “current account deficit” (CAD).

“Kita tidak boleh bohong bahwa di dalam negeri sendiri kita punya masalah. Masalah itu namanya “current account deficit”. Jadi kita itu harus akui kalau kita memiilki kuda-kuda yang lemah dari sisi “current account”,” ujarnya.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2018 tercatat 8 miliar dolar AS atau 3,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih tinggi dibandingkan defisit triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,21 persen dari PDB. Kendati pada triwulan kedua defisit transaksi berjalan sudah mencapai batas maksimal yang dianggap aman yaitu 3 persen, namun jika dihitung per semester I-2018, defisit transaksi berjalan baru mencapai 2,6 persen dari PDB.

“CAD kan sempat mencapai batas psikologis 3 persen dari PDB. Ketika mencapai ambang itu lah “confidence” terhadap rupiah melemah,” ujar Tony.

Next: Jokowi Gagal di RPJMN 2015-2019

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka