Sebelum menerka-nerka program yang tiba-tiba muncul ini, memang adakalanya harus mengenaili terlebih dulu penyakit yang disebut pemerintah bisa mengatasi virus MR. Penyakit MR yang disebut pemerintah ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus.

Penyebab campak yakni Morbilivirus, sedangkan rubella disebabkan oleh golongan togavirus. Gejala penyakit ini mirip sebagainya, yaitu adanya demam disertai ruam. Bedanya, anak yang mengalami campak seringkali terlihat lebih sakit, mata merah, batuk, sesak dan diare.

Sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, penderita campak disebut akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu karena adanya kekebalan tubuh yang melawan virus. Tetapi campak mematikan karena komplikasinya, yaitu radang paru (pneumonia), diare dengan dehidrasi (kekurangan cairan) berat dan ensefalitis (peradangan di jaringan otak dengan konsekuensi kecacatan seumur hidup, bila penderitanya tidak meninggal. Campak juga dapat menyebabkan kebutaan dan infeksi telinga tengah yang berisiko gangguan pendengaran.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 134.200 kematian di seluruh dunia atau setara dengan 367 kematian perharinya atau 15 kematian perjamnya. Angka ini memang jauh menurun seiring meluasnya cakupan imunisasi. Pada tahun 1980 misalnya, campak diperkirakan telah menyebabkan 2,6 juta kematian pertahun.

Di Indonesia, imunisasi campak masuk ke dalam program rutin yang diberikan kepada bayi ketika bayi berusia sembilan bulan sejak tahun 1982. Kemudian pada tahun 1980, berdasarkan catatan ada 28.935 kasus campak di Indonesia dan sempat meningkat menjadi 92.105 kasus di tahun 1990.

Pada data tahun 2016, kemudian ada laporan 6.890 kasus campak dengan jumlah lima kematian. Berdasarkan data Kemenkes RI ada 8.185 kasus campak di Indonesia, dengan 831 kasus kejadian luar biasa atau wabah. Tapi angka kematiannya hanya satu. Apakah data ini menunjukan kondisi penyakit campak di negara Indonesia sudah rendah, sehingga tidak perlu dikhawatirkan?

Memang, itikad baik pemerintah yang ingin tidak adanya kasus campak di Indonesia (eliminasi) harus didukung, bahkan seluruh dunia! Tapi, rencana strategis (Renstra) 2012–2020 yang dibuat oleh WHO mencanangkan eliminasi campak dan rubella di setidaknya lima area WHO, dan Menteri Kesehatan telah menargetkan Indonesia bebas campak di tahun 2020, sejak tahun 2015 lalu harus jelas.

Sekalipun, perencanaan memasukkan vaksin rubella ke dalam program imunisasi nasional sendiri bukanlah hal baru. WHO position paper on rubella vaccines di tahun 2011 merekomendasikan bahwa semua negara yang belum mengintroduksikan (memasukkan) vaksin rubella dan telah menggunakan dua dosis vaksin campak dalam program imunisasi rutin, yang seharusnya memasukkan vaksin rubella dalam program imunisasi rutin.

Kemitraan global pada tahun 2012 telah membentuk The Measles and Rubella Initiative, yang menjadi cikal bakal pemberian vaksin kombinasi MR di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia saat ini. Itu dibahas, dalam pertemuan kesehatan dunia (World Health Assembly).

Negara-negara Asia Tenggara lain bahkan sudah mendahului, seperti Kamboja di tahun 2013, Vietnam di tahun 2014 dan Myanmar di tahun 2015. Di Indonesia, ketika seorang anak mengalami demam yang disertai gejala ruam merah di kulit, maka orangtua menyebutnya sebagai campak, atau “tampak/tampek”.

Di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia, penyakit campak sangat ditakuti. Di AS sendiri, telah mengeliminasi campak sejak tahun 1997, dan negara-negara lain seperti Australia (eliminasi sejak tahun 2005), Kanada (sejak 1998), Inggris dan Wales (tahun 1995 – 2001), dan Korea (tahun 2001 – 2006).

Karena sekarang orang asing banyak lalu lalang di negara Indonesia, virus campak bisa berpindah dari satu orang ke orang lainnya, sehingga negara-negara yang dinyatakan bebas campak ini bisa sewaktu-waktu “mengimpor” virus campak dari warga negara lain. Berdasarkan data, kasus campak di Indonesia yang turun terus, dari 10.712 kasus di tahun 2013, lalu sempat naik menjadi 12.493 kasus di tahun 2014 dan turun ke angka 8.185 kasus pada tahun 2015. Kematian yang dilaporkan pun hanya satu.

Bila merujuk data di atas, Kementerian Kesehatan pun mengakui jumlah kasus itu masih rendah. Berdasarkan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, cakupan imunisasi campak yaitu 82,1 persen, meskipun laporan dari data rutin imunisasi campak menunjukkan angka 97,8 persen di tahun yang sama, dan turun menjadi 92,3 persen di tahun 2015.

Lalu siapa yang berisko terkena virus ini? Tentu jawabanya setiap orang yang belum pernah divaksinasi Campak atau sudah divaksinasi tapi belum mendapatkan kekebalan, berisiko tinggi tertular Campak dan komplikasinya, termasuk kematian. Rubella adalah penyakit akut dan ringan yang sering menginfeksi anak dan dewasa muda yang rentan. Tetapi yang menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat adalah efek kepada janin (teratogenik) apabila Rubella ini menyerang wanita hamil pada trimester pertama.

Infeksi rubella yang terjadi sebelum terjadinya pembuahan dan selama awal kehamilan dapat menyebabkan keguguran, kematian janin atau sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) pada bayi yang dilahirkan. CRS umumnya bermanifestasi sebagai Penyakit Jantung Bawaan, Katarak Mata, bintik-bintik kemerahan (Purpura), Microcephaly (Kepala Kecil) dan Tuli.

Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak, dan hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan 12–39 persen di antaranya adalah campak pasti (lab confirmed), sedangkan 16–43 persen adalah rubella pasti.

Di Indonesia, rubella merupakah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif. Data selama lima tahun terakhir menunjukan 70 persen kasus rubella terjadi pada kelompok usia 15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.

Mengapa diperlukan imunisasi massal MR di Indonesia? Penyakit MR tidak dapat diobati. Pengobatan yang diberikan kepada penderita hanya bersifat supportif. Tetapi kedua penyakit ini bisa dicegah dengan imunisasi. Selama ini Indonesia memberikan imunisasi campak sebagai salah satu program imunisasi nasional.

Mengingat besarnya perkiraan beban penyakit ini dan tersedianya vaksin kombinasi MR, maka diputuskan untuk mengganti vaksin Measles dengan vaksin kombinasiMR, yang dimulai dengan kegiatan imunisasi massal MR.

Gambaran imunisasi campak di Indonesia menunjukkan adanya penurunan cakupan imunisasi campak tahun 2014 dan 2015 dan angka insiden penyakit campak cenderung meningkat. Selain itu persentase kabupaten yang mempunyai cakupan campak dosis pertama 95 persen cenderung menurun, dari 45 persen tahun 2013 menjadi 28 persen tahun 2015.

Seiring dengan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, vaksin MR yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi itu haram. Mengapa demikian? Berdasarkan penelurusan, MUI baru mengesahkan dua vaksin. Vaksin yang disebutkan MUI yakni meningitis ‎Menveo Meningococcal buatan Novartis dan Mevac ACYW135 buatan Tianyuan.

Sedangkan satu sisanya merupakan vaksin diare untuk balita dengan merek Rotarix buatan pabrik obat GSK. Vaksin yang bersertifikasi halal dari MUI baru vaksin meningitis dan flu. Vaksin meningitis ada empat jenis produk, vaksin flu ada dua produk.

Memang, ribut-ribut pro-kontra vaksin sesungguhnya sudah lama menyeruak. Mereka yang kontra beralasan, vaksin mengandung zat gelatin babi, sehingga haram digunakan untuk imunisasi. Sementara mereka yang pro lebih melihat pada manfaat kesehatan dari vaksin.

Komisi Fatwa MUI pun akhirnya menerbitkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Fatwa ini diterbitkan pada 23 Januari 2016. MUI mulai menggodok fatwa ini sejak 2013. Ada sejumlah pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa ini diantarnya, satu, bahwa ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan, yang dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif agar tidak terkena penyakit, dan berobat manakala sakit agar diperoleh kesehatan kembali, yaitu dengan imunisasi.

Kedua, bahwa imunisasi sebagai salah satu tindakan medis untuk mencegah terjangkitnya penyakit tertentu, bermanfaat untuk mencegah penyakit berat, kecacatan, dan kematian. Ketiga, bahwa ada penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, baik karena pemahaman keagamaan bahwa praktik imunisasi dianggap mendahului takdir maupun karena vaksin yang digunakan diragukan kehalalannya.

Dalam fatwanya, MUI menyebut imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk usaha untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.

Imunisasi semestinya menggunakan vaksin yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram dan tidak dibolehkan, kecuali ada beberapa hal ini:

Pertama, digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat. A-ldlarurat (darurat) ialah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Sedangkan al-hajat ialah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.

Kedua, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci. Ketiga, adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. Fatwa itu juga memutuskan imunisasi wajib hukumnya bila seseorang yang tidak diimunisasi bisa menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya.

Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).

MUI juga memberikan rekomendasi terkait imunisasi. Ada tujuh rekomendasi dari MUI diantaranya: Pertama, pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.

Kedua, pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Ketiga, pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.

Kemudian, keempat produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal. Kelima, produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Keenam, pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi. Dan yang ketujuh, orang tua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi.

Baca selanjutnya…

Era Siti Fadilah Tuntut Keterbukaan Sampel Vaksin