Jamaah calon haji menaiki tangga pesawat Garuda Indonesia saat pemberangkatan kloter pertama Embarkasi Jakarta Pondok Gede, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (9/8). Sebanyak 4.459 calon haji dari 11 kloter sembilan embarkasi, Medan, Batam, Padang, Jakarta, Bekasi, Solo, Surabaya, Lombok dan Makassar diberangkatkan ke Arab Saudi. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/16
Jakarta, aktual.com – Sekitar Juli 2017 lalu, tepatnya setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017).
Puncak polemik mengenai penggunaan dana haji untuk pembangunan sejumlah program di sektor infrastruktur menuai pro kontra dikalangan publik, terlebih di para calon jamaah haji ketika itu.
Sebagaimana yang digaungkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang tidak setuju dengan rencana pemerintahan Presiden Jokowi untuk menginvestasikan dana umat Islam tersebut ke sektor infrastruktur.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi bahkan menilai jika rencana itu tetap dijalankan maka langkah tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku.

“Makanya, intinya kami menolak (dana haji) untuk dipakai infrastruktur,” kata Tulus, kepada wartawan, di Kantor YLKI, Pancoran Barat, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2017).

Tulus mengatakan, pemerintah harus dapat memastikan anggaran tersebut dikelola secara syariah. Dia juga tak mengetahui pasti, apakah pembangunan infrastruktur dapat diterapkan secara syariah atau tidak.

“Apalagi kita tahu haji atau umrah itu kan ibadah. Uangnya tidak boleh dipakai untuk main-main, karena menyangkut riba, dan lain-lain,” sebut Tulus.

Presiden Jokowi ketika itu sempat menjanjikan bahwa dana umat yang diinvestasikan keuntungannya dapat dipergunakan untuk mensubsidi ongkos dan biaya haji sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat. Bahkan, Jokowi mengklaim jika cara seperti itu sudah dipakai di negara lain seperti Malaysia.

“Bisa saja kan (untuk infrastruktur). Daripada uang ini idle, diam, ya lebih baik diinvestasikan tetapi pada tempat-tempat yang tidak memiliki resiko tinggi, aman, tapi memberikan keuntungan yang gede,” ucap Jokowi.

Bahkan, Anggota BPKH Anggito Abimanyu mengaku siap menjalankan instruksi Presiden itu. Ia menyebutkan, setidaknya ada sebesar Rp 80 Triliun dana haji yang siap diinvestasikan.

Namun, isu rencana tersebut pun tidak lagi terdengar, lantaran lebih banyak penolakan ketimbang persetujuan para calon jamaah maupun publik secara umum, alias tidak sesuai dengan harapan Jokowi saat itu.

Bahkan, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas ikut mempertanyakan wacana penggunaan dana haji yang akan diinvestasikan di bidang infrastruktur.

Busyro mengingatkan, jika haji itu adalah ibadah khusus yang tentu dananya dari hasil yang tidak diragukan lagi kehalalannya.

“Apakah lresiden punya kewenangan institusional untuk membuat keputusan dana nonpemerintah tapi dana haji yang niatnya, tujuannya itu untuk naik haji. Haji itu ibadah kategori khusus. Itu tidak boleh dananya berasal dari hasil-hasil yang meragukan kehalalannya,” kata Busyro di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (1/8/2017).Lalu, Oktober 2018, atau sudah setahun lebih lamanya, polemik dana haji pun kembali menjadi perbincangan hangat di sosial media (Sosmed).

Dalam, perbincangan itu, dikabarkan adanya upaya pemerintah untuk mengantongi pernyataan kerelaan para calon jamaah haji melalui media akad bermaterai 6000 yang disodorkan sebagai salah satu persyaratan pendaftaran.

Pada akad atau surat kuasa atau Wakalah  menerangkan jika calon jamaah haji bersedia memberikan kuasa kepada Ketua Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, berita yang tersebar jika akad itu soal penggunaan sebagian dana setoran BPIH maupun khusus. Yang sudah barang tentu, isu itu pun cepat mendapat respon, terlebih di tahun politik jelang pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 nanti.

MUI Pasang Badan Pemerintah

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Novrizal Sikumbang